Melihat berita di CNN yang menginformasikan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat yang baru membuat saya tersenyum karena merenungkan satu hal yang spontan muncul dalam fikiran saya. Beberapa tahun yang lalu Amerika memulai perang untuk menumbangkan seorang presiden bernama Hussein (Saddam Husein), kini Amerika sendiri memiliki presiden bernama Hussein (Barack Hussein Obama). Meskipun memang Amerika mungkin tak ada intensi untuk menumbangkan presiden karena namanya, tetapi fakta ringan ini cukum membuat saya tersenyum. Takdir-takdir ringan seperti ini pula yang membuat kita “terhibur”, ternyata alam dan zaman memiliki kadar “humor”-nya dengan caranya sendiri.
Tetapi dilain sisi, terlepas dari fakta bahwa Amerika merupakan musuh Islam berdasarkan rezim, tetap saja banyak yang berharap di bawah Obama Amerika sedikit tidak “galak” pada Islam (atau sedikit berharap pada “tuah” kata Hussein dalam nama Obama yang artinya lekat dengan kebaikan). Figure yang relative terkesan humanis begitu menonjol pada diri Obama, sehingga harapan seperti tadi layak muncul di setiap orang yang berposisi besebrangan dengan Amerika.
Harapan pada sosok Amerika yang lebih santun, menjadi Negara super power bukan karena kekuatan militernya (karena nanti sama saja dengan preman yang ditakuti karena kekuasaannya mengintimidasi), tetapi karena kesantunan, kedermawanan dan rendah hati, sehingga manusia-manusia Amerika dimanapun ia, mereka dihormati karena selalu ingin membantu dan melayani.
Hampir tidak ada Negara yang berorientasi kesana, menjadi Negara besar karena kesantunan kolektif sebagai bangsa. Ekonomi, politik, social-budaya dan pertahanan dan keamanan dibangun dalam orientasi visi yang sama, yaitu kesantunan. Negara seperti ini tentu harus lebih dulu memiliki kesantunan itu secara internal, pribadi-pribadi anak bangsa, system sosio kemasyarakatannya serta hokum dan mekanisme kenegaraanya. Bahkan pada satu titik pencapaian puncak idiologi itu bukan saja memberikan kesantunan pada Negara dan mensuperpowerkannya, tetapi juga memunculkan peradaban yang santun.
Diyakini bahwa kesantunan yang mensuperpowerkan suatu Negara, berawal dari idiologi manusia, bangsa dan Negara. Berdasarkan sejarah dan fakta-fakta yang ada, peradaban santun itu pernah hadir dan dirasakan ummat manusia pada satu zaman. Zaman ketika Tuhan dijadikan idiologi pada setiap jengkal aktifitas manusia. Zaman ketika Islam bukan sekedar menjadi agama, ketika Islam menjadi idiologi dan menjadi referensi puncak atas setiap prilaku manusia, baik secara kolektif maupun pribadi.
Namun Allah SWT-lah yang berkuasa atas segala peristiwa, dan maha tahu terhadap apa-apa yang ada di setiap dada manusia. Amerika tetap Amerika, Barack Obama tetap barrack Obama, kenyataan bahwa mereka menyatu dalam system yang berada di luar Islam, bahkan cenderung menganiaya Islam, tentu tak akan membuat mereka special di mata Islam.
Tetapi dilain sisi, terlepas dari fakta bahwa Amerika merupakan musuh Islam berdasarkan rezim, tetap saja banyak yang berharap di bawah Obama Amerika sedikit tidak “galak” pada Islam (atau sedikit berharap pada “tuah” kata Hussein dalam nama Obama yang artinya lekat dengan kebaikan). Figure yang relative terkesan humanis begitu menonjol pada diri Obama, sehingga harapan seperti tadi layak muncul di setiap orang yang berposisi besebrangan dengan Amerika.
Harapan pada sosok Amerika yang lebih santun, menjadi Negara super power bukan karena kekuatan militernya (karena nanti sama saja dengan preman yang ditakuti karena kekuasaannya mengintimidasi), tetapi karena kesantunan, kedermawanan dan rendah hati, sehingga manusia-manusia Amerika dimanapun ia, mereka dihormati karena selalu ingin membantu dan melayani.
Hampir tidak ada Negara yang berorientasi kesana, menjadi Negara besar karena kesantunan kolektif sebagai bangsa. Ekonomi, politik, social-budaya dan pertahanan dan keamanan dibangun dalam orientasi visi yang sama, yaitu kesantunan. Negara seperti ini tentu harus lebih dulu memiliki kesantunan itu secara internal, pribadi-pribadi anak bangsa, system sosio kemasyarakatannya serta hokum dan mekanisme kenegaraanya. Bahkan pada satu titik pencapaian puncak idiologi itu bukan saja memberikan kesantunan pada Negara dan mensuperpowerkannya, tetapi juga memunculkan peradaban yang santun.
Diyakini bahwa kesantunan yang mensuperpowerkan suatu Negara, berawal dari idiologi manusia, bangsa dan Negara. Berdasarkan sejarah dan fakta-fakta yang ada, peradaban santun itu pernah hadir dan dirasakan ummat manusia pada satu zaman. Zaman ketika Tuhan dijadikan idiologi pada setiap jengkal aktifitas manusia. Zaman ketika Islam bukan sekedar menjadi agama, ketika Islam menjadi idiologi dan menjadi referensi puncak atas setiap prilaku manusia, baik secara kolektif maupun pribadi.
Namun Allah SWT-lah yang berkuasa atas segala peristiwa, dan maha tahu terhadap apa-apa yang ada di setiap dada manusia. Amerika tetap Amerika, Barack Obama tetap barrack Obama, kenyataan bahwa mereka menyatu dalam system yang berada di luar Islam, bahkan cenderung menganiaya Islam, tentu tak akan membuat mereka special di mata Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar