Selasa, 11 November 2008

Akar Krisis dan Solusi

Krisis yang berulang tidak kemudian membuat daya tahan ekonomi terhadap krisis semakin meningkat seiring dengan semakin baiknya sistem ekonomi akibat pembenahan-pembenahan yang dilakukan. Padahal sejatinya krisis-krisis yang terjadi, berada dalam lingkungan sektoral ekonomi yang hampir selalu sama dengan gejala dan bentuk krisis yang juga sama, tetapi tetap saja krisis menampar ekonomi semakin hari semakin keras.

Merujuk pada kontinuitas krisis ekonomi yang didominasi oleh krisis keuangan sejak perekonomian dunia mewujud dalam bentuk modern (akhir abad 19), dan kekerapan atau intensitas krisis yang semakin tinggi ketika integrasi ekonomi dunia terjadi, membuat kecurigaan bahwa penyebab utama krisis terletak pada kesalahan penggunaan konsep ekonomi semakin menguat.

Kesalahan penggunaan konsep menjadi lebih beralasan daripada menunjuk kesalahan kebijakan sebagai kambing hitam. Kalau kebijakan yang salah, mengapa krisis ini selalu terjadi. Mengapa krisis di Amerika dan Eropa itu dapat terjadi lagi, apakah mereka tidak belajar dari krisis keuangan Asia Tenggara 10 tahun silam. Karena ternyata apa yang mereka (Amerika & Eropa) lakukan dalam merespon krisis, persis sama dengan apa yang dilakukan negara-negara Asia Tenggara ketika itu.

Disamping itu, apakah tidak cukup canggih metode pengelolaan risiko, good governance, transparency, business conduct dan segala instrumen penjaga di indusri perbankan dan keuangan dunia? Kemana pelajaran yang diambil dari krisis-krisis terdahulu? Tidakkah cukup puluhan atau bahkan ratusan krisis yang telah terjadi, dalam memberikan pengalaman dan wawasan untuk membangun industri yang lebih robust and resilience?

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa krisis-krisis dalam ekonomi dominan bersumber dari kekacauan di sektor keuangannya. Krisis-krisis tersebut merupakan akumulasi dari kesalahan konsep (sistem ekonomi) dan prilaku manusia. Interaksi antara kesalahan sistem dan prilaku bermuara pada kewujudan krisis yang secara reguler menghantam perekonomian dunia.

A. Kesalahan Konsep (Sistem Ekonomi)

Paradigma bahwa sektor keuangan merupakan sektor mandiri dalam perekonomian, boleh jadi merupakan paradigma yang keliru, yang menyebabkan perkembangan ekonomi selalu dihadapkan pada fakta-fakta (konsekwensi) ketimpangan antara sektor keuangan dan riil. Sektor keuangan sepatutnya menjadi sektoral yang berfungsi mendukung pertumbuhan ekonomi melalui aktifitas riil. Oleh sebab itu, semua elemen dan instrumen dalam sektor keuangan sepatutnya dipelihara dan dijaga untuk mendukung penuh aktifitas riil. Dengan demikian, kecenderungan penggelembungan sepihak sektor keuangan yang kerap terjadi akan dapat dihindari.

Ketimpangan sektor keuangan dan riil yang diakibatkan oleh penggelembungan sektor keuangan, secara sistem disebabkan oleh:

Interest base activities; men-drive arus uang lebih menuju pada sektor yang menjanjikan return tetap yang relatif lebih cepat, mudah dan tidak berisiko. Disamping itu, penggunaan konsep ini dalam mekanisme perbankan akan mendorong aktifitas money creation.

Fractional Reserve System; praktek ini dalam dunia perbankan akan menyebabkan pelipatan jumlah uang beredar, atau dapat dikatakan sebagai praktek yang berakibat pada penciptaan uang beredar. Penyisihan sejumlah dana oleh bank dari penempatan yang dilakukan oleh depositor dalam mekanisme perbankan yang saling berkoneksi akan menyebabkan penggelembungan jumlah uang beredar secara total lebih besar dari jumlah uang yang ada.

Speculative motives activities: praktek ini tentu akan mendorong sejumlah uang beredar tertahan berada pada aktifitas tak produktif (money whirlpool). Secara total praktek spekulasi akan semakin menyedot uang beredar yang berpotensi untuk memproduksi barang dan jasa, sehingga sektor riil akan semakin menyusut seiring dengan semakin berkembangnya aktifitas spekulasi yang umumnya bereda di sektor keuangan (Money Concentration).

Non-intrinsict Money Regime: penggunaan jenis uang yang tidak memiliki nilai intrinsik atau memiliki nilai intrinsik lebih rendah daripada nominalnya, cenderung akan meningkatkan potensi pertambahan uang beredar tanpa diimbangi dengan pertumbuhan penciptaan barang dan jasa (sektor riil), seperti munculnya seignorage dalam penciptaan uang kertas.

Ada dua konsekwensi alamiah dari praktek-praktek diatas ini, yaitu pengelembungan sektor keuangan yang berakibat pada ketimpangan sektoral ekonomi. Kedua, praktek tersebut akan menyebabkan terpeliharanya inflasi akibat penyusutan sektor riil (sisi supply) akibat alokasi modal atau investasi lebih terkonsentrasi pada sektor keuangan. Jadi dapat dikatakan sebelum kebijakan moneter (keuangan) konvensional ingin mengentaskan masalah ketimpangan ekonomi dan inflasi, secara tak sadar sebenarnya mekanisme sistem konvensionallah yang menyebabkan fenomena negatif tersebut selalu ada.

B. Prilaku Manusia yang Rakus

Berdasarkan pendapat Prof. Dr. Alex Lanur[1], Jeremy Bentham (1748-1823) sebagai Bapak Utilitarianisme, cukup tegas dalam menjelaskan motivasi dan batasan berprilaku manusia (tentu saja dalam pandangan konvensional). Menurut Lanur, dasar Benthanisme adalah hedonisme psikologis yaitu bahwa setiap manusia menurut kodratnya berusaha untuk mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari rasa sakit (pain).[2] Pernyataan Bentham yang sangat terkenal berkaitan dengan hal ini adalah “alam menempatkan manusia di bawah dua kekuasaan yang berdaulat, yakni rasa sakit dan kesenangan”.

Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham adalah; pertama, kesenangan yang paling besar adalah yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number). Kedua, tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik. Pada akhirnya asumsi ini membentuk prinsip yang oleh Bentham disebut sebagai prinsip manfaat atau Prinsip Etis Terakhir (ultima principia).

Selanjutnya Bentham menjelaskan faktor-faktor yang dapat menjadi ukuran dari kesenangan ini (cara menentukan, menilai atau menghitung), yaitu meliputi intensitasnya, lamanya, pasti-tidak pastinya dan jauh dekatnya kesenangan atau rasa sakit untuk seseorang. Ternyata Bentham juga tidak membatasi prinsip manfaat pada wilayah individual tapi juga kepentingan umum, dimana faktor yang dapat menjadi ukurannya adalah faktor luasnya atau besar jumlah atau banyaknya orang yang mengalami kesenangan ataupun rasa sakit itu. Penerus pemikir Benthamisme yang paling dikenal adalah John Stuart Mill, dimana Mill mencoba untuk menjelaskan perbedaan kualitatif intrinsik pelbagai macam kesenangan.

Tidak lengkap rasanya jika membahas filosofi dasar kapitalisme tanpa menyinggung apa yang menjadi pemahaman Adam Smith (1776) tentang prinsip-prinsip dasar ekonomi kapitalis. Adam Smith sebagai Bapak ekonomi, dalam buku Spencer J. Pack[3], disebutkan berkeyakinan bahwa kapitalisme berkembang berdasarkan kepentingan pribadi pelaku ekonomi. Smith mengidentifikasi bahwa sentimen, perasaan dan nafsu adalah motivator utama manusia dalam bertindak. Bahkan Smith berkeyakinan bahwa teologi (agama,) dalam hal ini Smith merujuk pada Bible, bukanlah merupakan sumber yang terjamin kebenarannya. Oleh sebab itu menurut Smith, kapitalisme muncul dan berkembang secara dominan akibat proses respon kolektif masyarakat terhadap prilaku-prilaku individual (the constant feedback of society to the actions of the individual) bukan karena hasil dari proses sistematis yang terencana (conscious planning).

Penjelasan di atas merupakan rangkuman latar belakang logika yang digunakan perekonomian modern dalam upaya membangun sistemnya. Logika diatas merupakan asumsi prilaku manusia sebagai objek dalam suatu mekanisme ekonomi, dan ini yang kemudian menjadi rasionalitas kapitalisme. Setiap orang akan memaksimalkan kepuasannya dalam mendapatkan atau menikmati sumber daya dan faktor produksi. Dan setiap orang tidak wajib mempertimbangkan keadaan manusia lain dalam menjalankan rasionalitas kapitalisme itu, karena jika ia lakukan itu dapat saja logika ekonominya menjadi tidak rasional.

Oleh karena itulah, fenomena krisis ekonomi yang tercipta karena kesalahan sistem semakin diperparah oleh prilaku ekonomi dari manusia sebagai pelakunya. Ketimpangan sektoral antara sektor keuangan dan riil pada setiap gejala krisis ekonomi, selain disebabkan oleh praktek money creation dari aplikasi interest base activities, fractional reserve dan seignorage, dipicu pula oleh rangsangan melakukan money concentration (money whirpool) yang diciptakan oleh sistem yang kemudian disambut dengan prilaku manusia yang konsisten menjalankan rasionalisme kapitalismenya yaitu “maximizing pleasure minimizing pain”, dengan cenderung meletakkan dananya di sektor keuangan.

Solusi

Jangka Panjang

Program secara jangka panjang sepatutnya menjawab masalah yang telah diidentifikasi sebagai akar masalah. Artinya upaya yang dilakukan adalah upaya-upaya perbaikan pada sistem dan prilaku manusia (moral hazard).

Sistem:
Mencari alternatif konsep untuk menggantikan interest base system
Fokus pada aktifitas investasi dengan meminimalkan praktek spekulasi
Konsep aplikasi dan kebijakan moneter dengan instrumennya yang fokus pada sektor riil

Prilaku:
Pembangunan sistem sosial yang mapan
Peningkatan emosi kolektifitas dalam warga ekonomi

Jangka Pendek
Program yang diambil adalah upaya-upaya yang mempertimbangkan keadaan realistis, dalam rangka melindungi perekonomian nasional dari krisis keuangan/ekonomi yang faktanya berasal dari eksternal. Dengan asumsi bahwa pasar domestik yang besar dan saat ini pencapaiannya masih jauh dari angka potensialnya, upaya tersebut dapat berupa:

Kebijakan moneter dan fiskal yang mendukung aktifitas riil domestik; penetapan tingkat suku bunga yang kondusif dan penentuan jenis serta tingkat pajak yang merangsang sekaligus melindungi aktifitas riil domestik

Kebijakan yang mengakomodasi masyarakat golongan bawah agar terlibat aktif dalam ekonomi melalui program-program sosial dan informal yang bertujuan pada peningkatan sisi permintaan. hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan volume ekonomi domestik. Akomodasi masyarakat marginal yang sebelumnya tidak memiliki akses, tentu awalnya akan meningkatkan agregat demand, namun akhirnya akan meningkatkan volume ekonomi.

Kebijakan yang mendorong UMKM karena kontribusinya pada penyerapan tenaga kerja dan output ekonomi. Upaya pada program-program sosial dan pembiayaan/kredit mikro akan sangat dibutuhkan.


[1] Alex Lanur, Pengantar Edisi Indonesia, On Liberty: Perihal Kebebasan, John Stuart Mill, Yayasan Obor Indonesia, 2005, pp. x – xxiv.
[2] Menurut Lanur, pendapat ini bukanlah hal yang baru karena telah juga diutarakan Epicurus (341-271 SM), Claude (Adrian) Helvetius (1715 – 1771) dan David Hartley (1705 – 1757). Namun Bentham membuat teori ini menjadi monumental.
[3] Spencer J. Pack, Smith’s Moral…

Tidak ada komentar: