Jumat, 12 Juni 2009

Underground Economy: Sebuah Estimasi

Diduga, dewasa ini 20–25 juta warga dunia dapat dikategorikan sebagai pengguna narkoba (drugs user) dari berbagai jenis dan golongan serta sekitar 10–20% di antaranya termasuk kalangan pencandu (drugs addict). Untuk Indonesia, angka pengguna diperkirakan mencapai 2–3 juta orang (Seputar Indonesia: Opini, Sinergi Memerangi Narkoba, May 23, 2009). Jika diasumsikan bahwa setiap pengguna narkoba menghabiskan Rp500 ribu setiap pekan, atau Rp 2 juta sebulan, maka volume transaksi narkoba bisa mencapai Rp 6 triliun sebulan. Dalam setahun bisa mencapai kurang lebih Rp 72 triliun. Fantastis! Sama dengan stimulus fiscal Indonesia menghadapi krisis global!

Sementara itu, UNDP mengestimasikan tahun 2003 di Indonesia terdapat 190 ribu hingga 270 ribu pekerja seksual komersial yang tiada lain mereka adalah para pelacur dengan 7 hingga 10 juta pelanggan. Artinya setiap pelacur rata-rata melayani 37 pelanggan (rasio maksimum). Dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang masih belum membaik, ada kemungkinan estimasi jumlah pekerja seks hingga akhir tahun 2008 telah meningkat di atas 20% atau sekitar 324 ribu. Jika rasio pelacur dan pelanggannya masih sama yaitu 1 banding 37, maka diperkirakan pelanggan pelacuran mencapai 12 juta pelanggan. Dan jika diasumsikan, setiap pelanggan mengeluarkan Rp 200 ribu perbulan, maka transaksi pelacuran perbulan mencapai Rp 2,4 triliun atau Rp 57,6 triliun. Dahsyat! Tidak heran jika ada segelintir orang ingin melegalkan sector ini dengan dalih penertiban dalam bentuk lokalisasi. Mungkin dengan aknga transaksi yang besar, mereka lihat potensi pajaknya yang juga cukup besar.

Bagaimana dengan angka perjudian dan korupsi? Mungkin angka keduanya jauh lebih mencengangkan. Duh, tambah terkesima saja kita dengan impact sector illegal yang mencerminkan rongrongan akhlak pada perekonomian.

Tidak ada komentar: