Senin, 07 September 2009

Konsep Hidup: Sebuah Muhasabah Diri

Rambut-rambut putih sudah terlihat jelas dikepalaku. Staminaku pun tidak seperti dulu lagi, mudah letih dan tidak cukup mobile seperti dahulu. Beberapa kesadaran mulai muncul pada tahapan hidup saat ini, bahwa ada peralihan bentuk, intensitas dan konsentrasi dari kerja-kerja yang aku lakukan, baik kerja untuk kepentingan diriku dan keluargaku maupun kerja-kerja kebaikan yang sudah kutekuni dalam keislaman ini.

Sebuah konsep hidup. Itu yang terpikir sejak dini hari tadi. Konsep hidup harus jelas dalam Islam ini. prinsip-prinsip di dalamnya harus dipahami dengan baik, dan langkah-langkahnya juga harus diketahui, terencana, sistematis dan terukur. Dengan begitu optimalisasi hidup dan kehidupanku akan (mungkin) lebih optimal.

Dahulu aku yakin bahwa kehendak Tuhanlah yang pantas menjadi arah hidupku, sehingga aku tidak begitu percaya atau perhatian pada perencanaan hidup. Karena boleh jadi perencanaan hidup lebih didominasi oleh harapan-harapan yang lebih mengedepankan mauku bukan mau Tuhan terhadapku. Belajar dari banyak harapanku yang tidak ketemu dengan kenyataan, mendidikku untuk menyerahkan semua jalan masa depan pada Tuhan.

Tetapi kini, setelah perlahan aku tahu kemana hidup ini akan menuju dan menjadi, rasanya pembenahan hidup dan penataan langkah harus dilakukan, agar sisa hidupku menjadi lebih bermanfaat. Aku membutuhkan peta jalan berikut langkah-langkah strategis untuk menapakinya. Aku sudah tahu tujuanku, misiku dan kendaraanku, tetapi aku butuh tahu bagaimana cara menuju tujuan itu dan langkah-langkah strategis macam apa yang sesuai dengan kemampuanku. Kembali lagi, aku butuh konsep hidup.

***

Remaja
Masa ini adalah masa persimpangan jalan, harus aku akui lingkungan disekitarku sangat dominan mengarahkan aku pada banyak pilihan arah hidup. Dan Alhamdulillah, aku sudah ditakdirkan untuk mendapatkan kesadaran Islam pada masa ini. Tetapi masa-masa remaja ini pada hakikatnya adalah masa persiapan bagiku untuk membentuk diri. Semangat dan militansi remaja yang ternyata berada dalam kesibukan-kesibukan Islam, membuatku memiliki kebiasaan-kebiasaan dan kenyamanan-kenyamanan tersendiri yang sangat berguna bagi pembentukan karakterku pada tahapan hidup selanjutnya.

Mahasiswa
Tarikan menarik antara godaan gaya hidup, ujian, dinamika orang muda dengan idealisme pada masa remaja, telah membuatku terombang-ambing dalam ketidakpastian. Tidak pasti kemana karakter diri akan terbentuk, tidak jelas gaya hidup seperti apa yang aku anut, sehingga persimpangan jalan masa remaja masih terasa diawal sampai dengan pertengahan masa mahasiswaku. Aku masih bersyukur, Tuhan masih sayang padaku sehingga atas kehendak-Nya-lah, aku masih diperkenankan bertemu dengan komunitas-komunitas kebaikan dan masih ditakdirkan melakukan kerja-kerja kebaikan, meskipun disela-selanya aku masih mencuri-curi waktu untuk “berkhianat” pada kehendak Tuhan.

Diakhir-akhir masa mahasiswaku, Tuhan berikan pelajaran berharga padaku. Pelajaran berserah diri pada kehendak-Nya secara total. Pelajaran yang membuatku yakin bahwa skenario Tuhan adalah salah satu prinsip dasar dalam menjalani kehidupan. Sehingga pada masa tahapan hidup inilah aku berhenti memanjangkan angan-angan. Aku jadi mengerti nuansa emosi Emha Ainun Najib ketika melantunkan syair; “...hidupku hanyalah memandang-Mu, memandang-Mu, memandang-Mu...” Hidupku adalah mau Tuhan. Tidak ada itu mauku, tidak ada itu ambisi, tidak ada itu cita-cita, karena “hidupku adalah kosong dan hampa...” menyitir kembali syair Emha.

Saat Ini: Awal Pengabdian dan Kontribusi
Dengan bekal pelajaran diakhir masa tahapan hidup mahasiswa itulah kini aku menjadi seperti ini. menjadi tidak begitu perhatian pada arah masa depan, karena aku yakin Tuhan sudah mempersiapkannya untukku. Namun ternyata kehidupan tidak berjalan pada satu bingkai saja yaitu kebaikan-kebaikan. Kehidupan juga memiliki cobaan-cobaan dan ujian atau bahkan teguran-teguran Tuhan, yang membuatku tak jarang jatuh terjerembab atau bahkan terhempas dengan sedemikian kerasnya. Kalau sudah seperti itu aku tidak punya pilihan lain kecuali menangis dalam istighfar dan meohon belas kasihan Tuhan dalam pertaubatan. Karenanya tidak jarang pula semangat hidupku sampai pada titik hampa yang membuatku frustasi dan letih.

Jika itu terjadi, aku selalu tersenyum, karena sekejap kemudian pasti Tuhan sodorkan aku “hiburan” berupa kerja-kerja kebaikan yang seakan-akan memberiku tanda bahwa aku masih dipercaya oleh-Nya untuk ada dijalan kebaikan, bersama orang-orang yang baik. Duh Allah nan Agung, jangan berikan aku pilihan-pilihan yang membingungkan, beritahu saja aku apa-apa yang harus aku kerjakan sebagai hamba-Mu, sebagai makhluk-Mu, sebagai budak-Mu.

***

Belajar dari tiga masa hidup yang telah aku lewati dan memasuki masa-masa pengabdian total sebagai seorang manusia, aku harus mulai dengan istighfar dan taubat. Aku ingin mulai dengan sesuatu yang baru yang selama ini aku tidak pernah lakukan, yaitu berencana! Merencanakan hidupku, merencanakan strategi apa yang aku harus pakai, karena kini aku sudah tahu apa fungsiku sebagai hamba Tuhan.

Aku harus punya rencana bagi diriku, bagi anak dan istriku, bagi semua amanah yang sedang aku emban dan hari-hari selanjutnya menuju pada puncak kehidupan yaitu kematian! Aku ingin menyambut kematian nanti dengan kelapangan dada, menyambutnya dengan senyum yang lega.

Fungsi hidupku tetap pada penghambaan pada Tuhan, disetiap waktu dan tempat sampai kapanpun, sampai amanah untuk hidup dicabut dariku. Fungsi ini telah kupahami sejak pertama aku mulai memahami Islam. Prinsip hidup yang dominan kupegang adalah menjadi sebaik-baik manusia sesuai dengan kemampuanku, yaitu membuat manusia lain merasakan sebanyak mungkin kemanfaatanku. Mereka itu istri dan anakku, keluargaku, handai-taulan dan semua manusia yang menjadi lingkungan hidupku.

Kini kuyakini misiku kedepan disamping memaksimalkan kebaikanku adalah membentuk sebanyak mungkin manusia-manusia baik, karena dengan begitu lingkunganku akan semakin kondusif untuk menjaga diriku sendiri agar tetap berada dalam kebaikan. Karena mengandalkan keimanan dan idealismeku aku tidak sanggup menahan hujaman godaan syetan yang datang bagai hujan badai. Kalaupun aku gagal, aku coba yakinkan diriku untuk tidak pernah bosan melantunkan istighfar dan taubat.

Hartaku, tenagaku dan waktuku hanyalah untuk kebaikan. Zakatku harus secara disiplin membersihkan setiap keping harta yang diamanahkan padaku. Infak dan sedekahku harus optimal menghiasi hartaku yang telah bersih dan memperindah karakterku sebagai manusia. Setiap keping hartaku aku rencanakan dan aku upayakan memberikan manfaat bagiku, keluargaku dan lingkunganku.

Tenaga dan waktuku sebanyak-banyaknya kurencanakan untuk mengerjakan dan menyebarkan kebaikan. Khususnya membentuk dan mengajak sebanyak mungkin manusia-manusia baik. Sampai kebaikan menjadi gelombang berupa manusia baik berikut amal kebaikannya. Gelombang yang akan membersihkan dunia.

Dan aku ingin kerjakan semua itu sampai hembusan terakhir nafas kehidupanku, sehingga kematian menjadi klimaks kehidupanku. Kematianku menjadi sesuatu yang kutunggu-tunggu dan kurindu. Kematian menjadi puncak kerinduan yang mempertemukan harapan dengan kenyataannya. Tetapi agar ia menjadi sesuatu yang kutunggu, aku harus pastikan jalan menuju kesana adalah jalan yang penuh dengan kebaikan.

Ini semua adalah rencana dari manusia yang pastinya penuh dengan kelemahan. Oleh sebab itu, aku sangat bermohon pada Tuhan, berikan aku kekuatan jiwa dan hati untuk konsisten dalam kebaikan. Ya Muqollibal Qulub, Tsabbit qulubana ‘Aladdiinika... ya Allah yang Maha Berkuasa berikan aku akhir yang baik... hidupku hanyalah memandang-Mu, memandang-Mu, memandang-Mu...

Tidak ada komentar: