Senin lalu saya diminta untuk ikut mempresentasikan kondisi keuangan mikro Indonesia oleh kolega di kantor khususnya keuangan mikro syariah kepada tiga tamu kamu dari Central Bank of Nigeria. Untuk kesekian kali kami kedatangan tamu internasional yang ingin belajar banyak tentang keuangan mikro Indonesia yang memang senyap-senyap keuangan mikro Indonesia sudah menjadi perbincangan dunia internasional.
BRI bahkan sudah memiliki divisi khusus untuk menangani tamu internasional yang akan belajar pengalaman mereka, kononnya juga tamu internasional itu dikenakan fee. Wow keren. Ketika saya diundang IFC World Bank bekerjasama dengan CGAP untuk mempresentasikan keuangan mikro Indonesia di Dubai pun, “keharuman” nama Indonesia dalam pengembangan keuangan mikro pun sudah tercium. Melihat respon dan antusiasme kalangan internasional, seakan-akan saya ketika itu tidak menyadari keunggulan negara sendiri.
Beberapa waktu lalupun saya mendampingi Dr. Mohammad Obaidullah, peneliti IRTI IDB yang telah berkali-kali datang ke Indonesia untuk meneliti konsep keuangan mikro, dimana keuangan mikro Indonesia menurut beliau menjadi industri bahkan sistem yang mapan di tanah air tercinta kita ini dibandingkan negara-negara lain di dunia. Oleh sebab itu, obsesi beliau ingin menyusun model Indonesia agar dapat direplikasi di dunia Internasional.
Saat ini lembaga keuangan mikro Indonesia telah mencapai belasan atau bahkan puluhan ribu unit (belum terdapat angka yang pasti). Khusus untuk keuangan mikro syariah lembaganya telah mencapai 134 BPRS, lebih dari 3200 BMT, 4000-an BRI unit (sharia office channeling), 500-an Lembaga Dana Sosial Islam (BAZ/LAZ). Jumlah ini belum termasuk koperasi syariah, baik yang telah terdaftar resmi maupun yang belum.
Dengan besarnya industri dan pengalaman yang cukup lama, membuat sektor keuangan mikro nasional cukup memiliki kemampuan dalam berkontribusi atau bahkan membentuk wajah perekonomian tanah air. Industri keuangan mikro syariah ini terbentuk dan berkembang, tentu sebagai respon dari kondisi dunia usaha Indonesia yang strukturnya didominasi oleh usaha jenis mikro dan kecil.
Sebegitu unggulkah Indonesia? Pertanyaan ini khusus untuk kita para pelaku dan pemerhati keuangan syariah tanah air. Saya yakin, anda semua punya jawaban yang kurang lebih sama dengan saya; ngga unggul-unggul amat kok. Buktinya kita tidak merasa bahwa keuangan mikro menjadi primadona industri dengan kampanye dan persepsi yang baik di tanah air.
Mari kita bedah satu-persatu setiap elemen di dalamnya:
1. Sumber Daya Manusia: sudah menjadi pengetahuan dan pemakluman bersama bahwa kualitas sumber daya keuangan mikro ada di bawah rata-rata profesional sektor keuangan yang lain. SDM keuangan mikro rata-rata baru setingkat lulusan SMA/SMK, kalaupun ada yang S1 mereka adalah yang biasanya memang belum terserap dalam dunia kerja “formal” lainnya. Orientasi angkatan kerja masih tertuju pada sektor-sektor yang mapan. Sementara keuangan mikro masih diposisikan sebagai industri marjinal, jangankan pada skala industri umum nasional dalam lingkungan industri keuangan saja ia berada pada kasta terendah. Kerja di lembaga keuangan mikro dipastikan tidak pernah menjadi cita-cita dari para pelajar atau mahasiswa. Bahkan kebanyakan motivasi berdirinya lembaga tersebut sekedar ingin membantu karyawan kecil, masyarakat tak mampu atau sekedar sebagai tempat latihan keahlian dan organisasi dan menyalurkan waktu luang. Tidak heran para pekerja atau SDM-nya tidak terlalu serius terdidik.
2. Lembaga Keuangan Mikro: lembaga keuangan mikro umumnya tidak mapan secara kelembagaan. Landasan hukum lembaganya masih belum jelas, ada yang berbentuk PT, CV, koperasi, lembaga dana daerah atau bahkan sama sekali tidak berbadan hukum, ia sekedar organisasi kemasyarakatan yang muncul atas inisiatif masyarakat lokal terbatas. Dengan demikian formalitas lembaga keuangan mikro sampai saat ini menjadi kelemahan yang sangat mendasar.
3. Regulator: industri keuangan mikro nasional yang telah besar hingga puluhan ribu lembaga ini ternyata harus dihadapkan pada realita simpang siurnya lembaga pengatur. Ketidaksatuan pada regulatornya, membuat lembaga keuangan mikro sulit untuk konsisten pada misinya karena masing-masing jenis lembaga keuangan mikro (PT, CV, Koperasi dan lain-lain) harus berhadapan dengan ketentuan yang berbeda-beda mengingat regulatornya berbeda-beda pula. Untuk BPR/BPRS regulatornya Bank Indonesia, Koperasi/BMT regulatornya Kementerian Koperasi dan UMKM, sementara untuk BAZ/LAZ regulatornya Departemen Agama/BAZNAS. Kebanyakan regulator yang ada saat ini masih belum berfungsi secara baik, baik fungsi perizinan, pengaturan maupun pengawasan. Kelemahan ini membuat industri bergerak tanpa arah, sehingga kebijakan pengembangan lebih dipegang oleh pasar keuangan mikro itu sendiri.
4. Infrastruktur: lembaga-lembaga atau standard pelengkap seperti lembaga pemeringkat dan standard akuntansi bagi keuangan mikro masih sangat terbatas (jika tidak ingin dikatakan tidak ada). Selain itu lembaga perlindungan nasabah seperti lembaga penjamin simpanan dan pusat informasi pasar mikro-kecil juga masih belum tersedia. Khsusus untuk lembaga bank (BPR/BPRS) standar akuntansi yang masih mengikut standar akuntansi lembaga keuangan besar dimana standar tersebut lebih diperuntukkan bagi unit usaha atau perusahaan-perusahaan besar, mereka masih menghadapi kendala karena karakteristik nasabah mereka (unit usaha mikro-kecil) berbeda. Oleh sebab itu, mendesak disusunnya standar skuntansi khusus bagi nasabah mikro-kecil sekaligus standar penilaian kesehatan pembiayaannya.
5. Preferensi Masyarakat Usaha Mikro-Kecil: hampir semua lembaga keuangan mikro menghadapi masalah pada kapasitas funding, akibat preferensi masyarakat usaha mikro-kecil yang lebih cenderung mencari pembiayaan/kredit ke lembaga keuangan mikro tetapi menyimpan dananya di lembaga keuangan yang lebih besar. Itu mengapa saat ini lembaga keuangan mikro harus mencari-cari outlet untuk memenuhi kebutuhan funding mereka, baik dari dana murah linkage lembaga keuangan besar, dana pemerintah daerah, donor, APEX, dana sosial maupun dana CSR perusahaan besar. Memang saat ini solusi yang diyakini paling tepat adalah penyediaan fasilitas pada sisi funding dan sistem pembayaran yang membuat nasabah merasa nyaman dengan kebutuhan-kebutuhan keuangan disisi tersebut. Misalnya penyediaan fasilitas ATM berbasis teknologi murah. Tetapi pengembangan-pengembangan tersebut membutuhkan dukungan pemerintah baik dana, keahlian, teknologi maupun peraturan yang mampu mengintegrasikan industri keuangan mikro agar lebih rapi.
Meskipun begitu kelemahan yang ada dalam sistem keuangan mikro Indonesia sepertinya “impas” ditutupi oleh kelebihan-kelebihan mereka dalam berkontribusi menghidupkan ekonomi rakyat pada skala yang luar biasa luas. Bahkan prestasi yang juga tidak kalah sensasionalnya adalah berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan perekonomian tanah air di periode-periode krisis (krisis keuangan asia 1998 dan krisis keuangan global 2008) melalui perannya menjaga nafas aktivitas UMKM tanah air. Beberapa kelebihan yang menonjol lembaga keuangan mikro adalah:
1. Kemudahan akses dana akibat sederhannya prosedur pembiayaan/kredit.
2. Daya jangkau yang mampu mengakomodasi golongan masyarakat terbawah (poorest of the poor).
3. Melakukan pendekatan dan pembinaan nasabah sehingga interaksi saling percaya para pihak relatif terbentuk.
4. Mengenal betul pasar dan pelaku bisnis mikro-kecil sehingga lembaga keuangan mikro pantas untuk disebut sebagai community bank.
Dengan kelebihan itu keuangan mikro indonesia betul-betul memiliki peran yang cukup krusial dalam menjaga kehidupan UMKM, dimana UMKM nasional memiliki kontribusi yang begitu penting dalam perekonomian tanah air. UMKM merupakan struktur usaha dominan (98%), dan mampu menyerap lebih dari 80% tenaga kerja yang ada, serta memberikan kontribusi GDP yang cukup besar 40-50%. Jika seperti itu, bukankah sangat beralasan pemerintah dengan segala kewenangan dan kepentingannya mengambil inisiatif membenahi sektor keuangan mikro, yang sebenarnya sektor ini telah berkembang dan menuju pada pemapanan diri.
Beberapa hal yang perlu dibenahi adalah:
1. Kualitas SDM: memasukkan materi keuangan mikro di sekolah menengah kejuruan dan perguruan tinggi serta penyediaan fasilitas berupa literatur dan tenaga pengajar menjadi sebuah pembenahan yang wajib. Pusat-pusat pelatihan berikut program-program up-grading harusnya menjadi inisiatif pemerintah bukan hanya menjadi kepentingan praktisi industri.
2. Undang-Undang Keuangan Mikro: penyediaan landasan hukum positif pada dasarnya akan membenahi tiga masalah sekaligus, yaitu (i) kemapanan lembaga; (ii) kejelasan regulator; dan (iii) kelengkapan infrastruktur. Dengan UU yang komprehensif kepastian bentuk hukum lembaga keuangan mikro akan lebih jelas, apakah ia merupakan sejenis bank, lembaga sosial atau ditetapkan sebagai lembaga tersendiri (genre baru). Selain itu dengan UU, regulator keuangan mikro sepatutnya telah definitif dilakukan oleh satu lembaga khusus, sehingga mampu menentukan arah kebijakan pengembangan dan menjaga irama pengembangannya. Selanjutnya UU diharapkan memberikan amanah kepada pihak-pihak terkait untuk melengkapi fasilitas struktur industri keuangan syariah agar industri keuangan syariah mampu menjadi industri yang kuat dan sehat, berkembang secara efisien dan efektif, serta mampu memberikan kemanfaatan bagi dunia usaha mikro-kecil dengan optimal.
3. Technical Assistant: pemerintah sebaiknya mampu menyediakan fasilitas dana dan IT murah bagi penyediaan pelayanan yang lebih optimal dan lengkap pada lembaga keuangan mikro. Penyediaan akses likuiditas bagi kinerja pembiayaan lembaga keuangan mikro menjadi sebuah kebutuhan mendesak saat ini. Disamping itu integrasi industri keuangan mikro akan membuat pelayanan keuangan mikro mampu menjangkau seluas mungkin masyarakat dengan segala tingkatan kondisi ekonomi mereka. Selama ini setiap jenis lembaga keuangan mikro perlahan-lahan membentuk captive market-nya sendiri-sendiri, tetapi jangkauan masing-masing lembaga terbatas pada lokasi-lokasi tertentu. Misalnya BPR/BPRS lebih pada usaha kecil formal urban, Koperasi/BMT lebih tertuju pada usaha mikro informal urban-rural, sedangkan lembaga dana sosial lebih pada golongan masyarakat poorest of the poor (community development). Oleh sebab itu, apabila ia difasilitasi dan dibenahi (terutama peran dari pemerintah), maka keuangan mikro mampu beroparasi dengan lebih mapan dan saling bahu membahu pada skala nasional dan pada semua sektor ekonomi.
Dengan pembenahan yang ada diharapkan industri keuangan mikro akan menjadi lebih mapan dan lebih prestise, sehingga perkembangan selanjutnya akan membuat ia menjadi industri yang diminati secara formal, menjadi cita-cita pencari kerja, betul-betul menjadi wajah ekonomi bangsa yang diandalkan peran dan keunggulannya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar