Membaca opini pembaca dalam Detik.Com tentang pengemis, menarik bagi saya untuk ikut merenungkan dan berkomentar tentang fenomena itu. Mengemis idealnya merupakan sebuah keterdesakan dari suatu kondisi ekonomi yang tidak kondusif. Mengemis sangat tidak pantas menjadi sebuah pilihan kerja atau bahkan menjadi sebuah profesi yang kemudian memiliki ruang tersendiri dalam industri.
Namun memang harus diakui bahwa sektor sosial akhir-akhir ini sedikit demi sedikit blended dalam sektor komersil, dimana sektor sosial perlahan menjadi sub-sektor dalam perekonomian. lihat saja bagaimana belas kasihan masyarakat akhirnya menemukan produk-produknya di pasar sosial; pengemis, gelandangan, tuna wisma dan lain sebagainya.
Alih-alih dihindari, mengemis bahkan menjadi sebuah profesi (kalau tidak mau disebut sebuah karir) yang menjanjikan penghasilan dengan tingkat produktifitas yang relatif tinggi. Rasio cost-benefit-nya boleh jadi cukup tinggi. Pasarnya pun kini berkembang, dari kemasan mengemis yang semakin “berkualitas” dan bervariasi, sampai pasar yang memiliki musim tertentu seperti hari-hari keagamaan; Ramadhan, Hari Raya, Jum’atan dan lain-lain. Akhirnya mengemis layaknya industri bendera dengan agustusannya atau industri spanduk dengan pemilunya.
Bagaimana sebenarnya kedudukan mengemis ini dalam Islam? Sebuah kewajarankah? Atau memang ia tidak boleh ada? Banyaknya dalil-dalil Qur’an dan Sunnah yang menyampaikan kehinaan orang yang selalu menadahkan tangan menghiba untuk kelangsungan hidupnya, seakan telah menjawab pertanyaan diatas. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Karena orang yang papa boleh jadi bukan karena hasil kemalasan, tetapi betul-betul sebuah keterdesakan dimana dia tidak memiliki pilihan.
Mereka yang terlahir tidak memiliki sanak-famili atau mereka yang hari tuanya tidak memiliki siapa-siapa tentu kemiskinan menjadi keniscayaan baginya. Dan sektor sosial Islam dengan Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf-nya ada untuk golongan seperti ini. Sampai-sampai Nabi “mengancam”, tidak beriman mereka yang bisa tidur nyenyak sementara ada tetangganya yang kelaparan.
Penjagaan manusia dari masalah ekonomi pada dasarnya adalah upaya pemeliharaan fungsi manusia agar terjaga kewajibannya sebagai hamba Tuhan, yaitu beribadah kepada-Nya. Sahabat Nabi Umar bin Khatab mengatakan; “aku sebagai pemimpin negara bertugas untuk menjaga semua warga terpenuhi kebutuhan dasarnya. Akan aku gunakan zakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, jika tidak cukup akan aku gunakan harta fay’ (harta/penerimaan negara selain zakat), jika tidak cukup maka akan aku pungut pajak (nawaib) dari para orang kaya, jikapun itu tidak cukup akan aku kumpulkan semua harta di negara ini dan kubagikan kepada semua warga sama rata.”
Sementara itu bagi mereka yang masih memiliki tenaga dan upaya sepatutnya diberikan peluang atau kesempatan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Negaralah yang memiliki kewajiban itu. Dalam Islam distribusi zakat pada para orang fakir miskin (mustahik) selalu diikuti dengan program memperkerjakan mereka, seperti menjadi guru yang mengajarkan baca tulis, membuat saluran irigasi dan lain-lain.
Namun yang tidak kalah penting dari upaya-upaya teknis ekonomi itu adalah upaya mengajarkan akidah dan akhlak Islam yang mulia bagi semua warga baik mereka yang kaya maupun yang miskin. Nilai-nilai akidah dan akhlak Islam akan membuat proses sektor sosial akan berjalan lebih lancar tanpa perlu negara secara dominan berperan.
Dengan nilai akidah dan akhlak Islam diharapkan orang-orang kaya tahu tanggung jawabnya sebagai manusia yang ingin mulia di mata Allah, yang juga selalu memberikan kemanfaatan dan hak mereka yang kekurangan. Dengan akidah dan akhlak Islam, manusia-manusia kaya yang terbentuk adalah manusia-manusia yang zuhud dengan harta kekayaannya.
Banyak ulama yang menasehati agar manusia-manusia kaya waspada terhadap keadaan kecukupan yang dimilikinya, karena risikonya jauh lebih dahsyat dari manusia yang miskin. Seorang ulama mengatakan risiko bermaksiat dari orang yang bergelimang kemegahan harta itu lebih besar dari mereka yang papa.
Sementara itu, dengan akidah dan akhlak Islam, manusia-manusia miskin memahami betul risiko dan keistimewaan kondisi tersebut. Diharapkan manusia miskin memahami risiko kefakirannya dekat dengan kekufuran, tetapi didalam kemiskinan juga memiliki keistimewaan yang tidak kalah mulianya, seperti pesan Nabi, dimana nanti di akhirat ada manusia yang utama dan pertama masuk syurga yaitu golongan orang miskin yang istiqomah dengan agamanya.
Maksudnya, diharapkan dengan nilai akidah dan akhlak Islam, manusia miskin yang tercipta adalah masyarakat msikin yang qona’ah (merasa cukup dengan rizki yang diberikan Allah baginya) dengan keadaannya. Dengan begitu manusia-manusia miskin tetap akan menjaga harga diri dan kehormatannya, dan mengemis menjadi sesuatu yang hina bagi mereka.
Akhirnya, saya memahami bahwa kondisi kaya dan miskin adalah sebuah kehendak Tuhan dimana terdapat kemuliaan pada keduanya. Dua kondisi ini menjadi peluang bagi keduanya untuk menjadi mulia dimata Allah.
Namun memang harus diakui bahwa sektor sosial akhir-akhir ini sedikit demi sedikit blended dalam sektor komersil, dimana sektor sosial perlahan menjadi sub-sektor dalam perekonomian. lihat saja bagaimana belas kasihan masyarakat akhirnya menemukan produk-produknya di pasar sosial; pengemis, gelandangan, tuna wisma dan lain sebagainya.
Alih-alih dihindari, mengemis bahkan menjadi sebuah profesi (kalau tidak mau disebut sebuah karir) yang menjanjikan penghasilan dengan tingkat produktifitas yang relatif tinggi. Rasio cost-benefit-nya boleh jadi cukup tinggi. Pasarnya pun kini berkembang, dari kemasan mengemis yang semakin “berkualitas” dan bervariasi, sampai pasar yang memiliki musim tertentu seperti hari-hari keagamaan; Ramadhan, Hari Raya, Jum’atan dan lain-lain. Akhirnya mengemis layaknya industri bendera dengan agustusannya atau industri spanduk dengan pemilunya.
Bagaimana sebenarnya kedudukan mengemis ini dalam Islam? Sebuah kewajarankah? Atau memang ia tidak boleh ada? Banyaknya dalil-dalil Qur’an dan Sunnah yang menyampaikan kehinaan orang yang selalu menadahkan tangan menghiba untuk kelangsungan hidupnya, seakan telah menjawab pertanyaan diatas. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Karena orang yang papa boleh jadi bukan karena hasil kemalasan, tetapi betul-betul sebuah keterdesakan dimana dia tidak memiliki pilihan.
Mereka yang terlahir tidak memiliki sanak-famili atau mereka yang hari tuanya tidak memiliki siapa-siapa tentu kemiskinan menjadi keniscayaan baginya. Dan sektor sosial Islam dengan Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf-nya ada untuk golongan seperti ini. Sampai-sampai Nabi “mengancam”, tidak beriman mereka yang bisa tidur nyenyak sementara ada tetangganya yang kelaparan.
Penjagaan manusia dari masalah ekonomi pada dasarnya adalah upaya pemeliharaan fungsi manusia agar terjaga kewajibannya sebagai hamba Tuhan, yaitu beribadah kepada-Nya. Sahabat Nabi Umar bin Khatab mengatakan; “aku sebagai pemimpin negara bertugas untuk menjaga semua warga terpenuhi kebutuhan dasarnya. Akan aku gunakan zakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, jika tidak cukup akan aku gunakan harta fay’ (harta/penerimaan negara selain zakat), jika tidak cukup maka akan aku pungut pajak (nawaib) dari para orang kaya, jikapun itu tidak cukup akan aku kumpulkan semua harta di negara ini dan kubagikan kepada semua warga sama rata.”
Sementara itu bagi mereka yang masih memiliki tenaga dan upaya sepatutnya diberikan peluang atau kesempatan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Negaralah yang memiliki kewajiban itu. Dalam Islam distribusi zakat pada para orang fakir miskin (mustahik) selalu diikuti dengan program memperkerjakan mereka, seperti menjadi guru yang mengajarkan baca tulis, membuat saluran irigasi dan lain-lain.
Namun yang tidak kalah penting dari upaya-upaya teknis ekonomi itu adalah upaya mengajarkan akidah dan akhlak Islam yang mulia bagi semua warga baik mereka yang kaya maupun yang miskin. Nilai-nilai akidah dan akhlak Islam akan membuat proses sektor sosial akan berjalan lebih lancar tanpa perlu negara secara dominan berperan.
Dengan nilai akidah dan akhlak Islam diharapkan orang-orang kaya tahu tanggung jawabnya sebagai manusia yang ingin mulia di mata Allah, yang juga selalu memberikan kemanfaatan dan hak mereka yang kekurangan. Dengan akidah dan akhlak Islam, manusia-manusia kaya yang terbentuk adalah manusia-manusia yang zuhud dengan harta kekayaannya.
Banyak ulama yang menasehati agar manusia-manusia kaya waspada terhadap keadaan kecukupan yang dimilikinya, karena risikonya jauh lebih dahsyat dari manusia yang miskin. Seorang ulama mengatakan risiko bermaksiat dari orang yang bergelimang kemegahan harta itu lebih besar dari mereka yang papa.
Sementara itu, dengan akidah dan akhlak Islam, manusia-manusia miskin memahami betul risiko dan keistimewaan kondisi tersebut. Diharapkan manusia miskin memahami risiko kefakirannya dekat dengan kekufuran, tetapi didalam kemiskinan juga memiliki keistimewaan yang tidak kalah mulianya, seperti pesan Nabi, dimana nanti di akhirat ada manusia yang utama dan pertama masuk syurga yaitu golongan orang miskin yang istiqomah dengan agamanya.
Maksudnya, diharapkan dengan nilai akidah dan akhlak Islam, manusia miskin yang tercipta adalah masyarakat msikin yang qona’ah (merasa cukup dengan rizki yang diberikan Allah baginya) dengan keadaannya. Dengan begitu manusia-manusia miskin tetap akan menjaga harga diri dan kehormatannya, dan mengemis menjadi sesuatu yang hina bagi mereka.
Akhirnya, saya memahami bahwa kondisi kaya dan miskin adalah sebuah kehendak Tuhan dimana terdapat kemuliaan pada keduanya. Dua kondisi ini menjadi peluang bagi keduanya untuk menjadi mulia dimata Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar