Selasa, 17 Januari 2012

Seri Global Crisis: Situasi Krisis Eropa Memburuk, Please Do Nothing!


Situasi krisis Eropa memburuk. Statement ini tentu pas-pas saja untuk menjelaskan secara singkat kondisi terakhir dari krisis Eropa. Seperti kekhawatiran yang telah saya tulis sebelumnya, penurunan credit rating pada banyak negara Eropa khususnya negara utama (ekonomi besar) seperti Prancis dan Austria, akan memberikan preseden dan sentimen negatif terhadap kemampuan Eropa secara kolektif. Dan kemampuan kolektif itu diwakili oleh peran the euro zone's current bailout fund, yang berasal dari European Financial Stability Facility (EFSF). Dan kekhawatiran itu ternyata menjadi kenyataan. Sandard & Poor (S&P) tidak membutuhkan waktu lama untuk kemudian memutuskan penurunan credit rating EFSF.

Setelah Jum’at, 13 Januari 2012 S&P menurunkan credit rating secara serentak 9 negara Eropa, Selasa, 17 Januari 2012 kemarin S&P menurunkan credit rating dari bailout fund-nya EFSF dari AAA menjadi AA+. Dengan kondisi dimana hanya 4 negara (dari 17 negara Eurozone pengguna mata uang tunggal euro), yaitu Finlandia, Jerman, Luxembourg dan Belanda, yang masih memiliki credit rating AAA, maka akan cenderung membuat creditor semakin waspada, bahkan dapat dikatakan pesimis terhadap kemampuan bayar Eropa atas kebijakan-kebijakan bailout mereka. Kondisi ini dapat dimaknakan bahwa dana talangan akan sangat bergantung pada kemampuan bayar masing-masing negara anggota Eurozone. Tentu situasi ini sangat mengkhawatirkan Yunani yang dalam beberapa bulan kedepan membutuhkan kembali dana talangan karena akan jatuh temponya surat utang mereka.

Jika situasi tidak membaik, tentu akan ada kebijakan-kebijakan domestik yang bersifat dramatik yang dilakukan oleh masing-masing negara Eropa dalam rangka memproteksi kepentingan mereka. Terlebih jika secara kolektif Eropa tidak mampu lagi mengelola dan melakukan tindakan bersama dalam payung European Union (EU). Logikanya begini; ketika kesulitan likuiditas pada krisis keuangan lembaga keuangan komersil sektor swasta terjadi (2008), maka hal yang paling logis dan rasional untuk dilakukan adalah bailout pemerintah. Dan ketika krisis yang sama terjadi pada kemampuan likuiditas pemerintah terjadi (2011), maka salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah talangan bersama pada tingkat regional (EFSF dengan bailout fund-nya). Namun kini jika secara kolektif kawasan itu cenderung mendapatkan masalah likuiditas secara bersama-sama, apa yang harus dilakukan? Haruskah masalah itu akhirnya menjadi tanggungan semua negara di dunia?

Dulu ketika kronologi itu terjadi di Asia Tenggara pada tahun 1997-1998, kebijakan dana talangan atau boilout negara-negara maju begitu ampuh menahan laju contagion krisis untuk menyebar dan meluas. Kala itu kebijakan bailout diikuti pula dengan klausul-klausul penghapusan utang dan penundaan pembayaran utang (perpanjangan tenor utang-reschedule). Nah kini saat negara-negara maju itu yang mengalami krisis dengan kronologi yang sama sepertinya akan menghadapi jalan buntu karena mereka tidak memiliki jalan keluar seperti saat negara Asia Tenggara dulu menghadapi krisis. Status negara maju membuat Eropa menjadi kesulitan untuk mengikuti jejak penanganan krisis yang sering terjadi di negara-negara emerging market. Ga mungkin juga kan Eropa minta penghapusan utang atau rescheduling utang dari para creditor?

Jalan keluar untuk krisis Eropa yang terfikirkan oleh saya sejauh ini adalah “do nothing”. Ya, yang disebut jalan keluar bagi Eropa adalah pembusukan sistem, dan biarkan pembusukan itu berlangsung sempurna. Jangan lakukan apapun, karena jika melakukan sesuatu apapun bentuknya, hal itu hanya akan memperpanjang waktu dari proses pembusukan dan itu tentu akan semakin penderitaan yang harus ditanggung mereka. Memang konsekwensi dari jalan keluar “do nothing” ini adalah masa yang sulit bagi Eropa.

Namun, mengapa harus dengan pembusukan? Karena akar masalah dari Eropa saat ini terletak pada sistem dan prilaku ekonomi dari pemerintah, masyarakat sampai pelaku bisnis. Jadi yang harus dilakukan adalah perubahan sistem dan prilaku ekonomi. Pembusukan sebenarnya adalah proses perubahan menuju aplikasi sistem dan prilaku ekonomi yang baru. Perubahan yang sempurna dan baik hanya dapat dilakukan melalui pengalaman yang memunculkan proses adaptasi. Perubahan melalui proses pemaksaan baik pada sistem maupun prilaku akan memunculkan penolakan yang tidak kalah keras atau bahkan memancing konflik. Tetapi harus diakui jika ingin cepat keluar dari krisis memang Eropa harus merubah sistem ekonomi khususnya keuangan mereka. Pertanyaannya; apa mereka mau? Terlebih lagi prilaku mereka. Duh ga terbayang jika perubahan itu dramatik terjadi.

Perubahan sistem dan prilaku ekonomi seperti apa yang dibutuhkan? Wah jawaban untuk pertanyaan ini tinggal dilihat bagaimana perspektif ekonomi Islam menjelaskan tata-kelola sistem dan prilaku ekonomi. Tetapi secara singkat pada sistem ekonomi perlu perubahan dari konsep utang berbasis interest (bunga) dan spekulasi (judi) dalam sistem keuangan menjadi konsep produktif (riil) berbasis jual-beli. Sementara pada prilaku ekonomi diperlukan perubahan-perubahan paradigma prilaku dan aturannya dari prilaku yang mengakomodasi greediness (nilai-nilai kepuasan berbasis individual) menjadi prilaku yang mengedepankan altruisme (nilai-nilai kepuasan kolektif). Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: