Pada tulisan ini saya bukan ingin memberikan informasi tentang kondisi terkini perekonomian Gaza tetapi lebih ingin menganalisis seperti apa perekonomian berjalan dalam situasi Gaza beberapa waktu belakangan ini. Gaza daerah yang luasnya lebih kecil dari Jakarta Selatan, lebar 400 meter dan panjang 10 km dengan populasi 1,5 juta, cukup mengejutkan mampu menjalankan ekonomi dalam kondisi embargo panjang Israel.
Kondisi seperti itu membuat Gaza menjadi fenomena menarik untuk diamati menggunakan kaca mata ekonomi. Beberapa kali di visualkan oleh beberapa TV internasional, ternyata infus ekonomi yang menjaga nafas ekonomi Gaza setidaknya ada dua faktor, pertama faktor aktifitas penyeludupan barang-barang kebutuhan melalui terowongan-terowongan di wilayah Rafah, perbatasan antara Gaza dan Mesir. Jumlah terowongan itu konon mencapai ratusan. Jikapun berhasil diketahui oleh Israel dan dihancurkan menggunakan bom, dalam 20 hari para pedagang mampu memperbaiki dan menjalankan aktifitas rutinnya kembali.
Kedua, faktor bantuan dana-dana sosial dari berbagai lembaga dan baik LSM maupun pemerintah negara lain, yang terus menjaga agar purchasing power tetap ada dimiliki penduduk Gaza. Penyediaan dana ini bermakna memelihara salah satu mesin dari dua mesin ekonomi, yaitu kekuatan demand. Dalam teori ekonomi Islam kita tahu, ketika sektor publik (government sector) gagal mengatasi ketidakmampuan pasar (private sector), maka sektor sosial akan memainkan perannya dalam menjaga ketersedian barang dan jasa (production possibility frontier) dalam melayani kebutuhan masyarakat.
Mekanisme self healing ini berlangsung dengan lebih baik dalam ekonomi Islam untuk memastikan ekonomi masih memiliki nafas melayani masyarakat. Menjaga agar kebutuhan mereka tertunaikan sehingga dengan leluasa mereka tetap mampu menyisihkan waktu regulernya beribadah kepada Allah SWT. wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar