Teringat saya dengan komentar seorang kawan yang melihat pengurus MES begitu banyak. Apa tidak membuat organisasi sulit untuk efisien? Atau organisasi hanya sekedar mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan termasuk tokoh-tokohnya? Kalau begitu bagaimana organisasi ini mampu mencapai tujuan dan menjalankan fungsinya, kalau untuk koordinasi saja sulitnya mempertemukan mereka semua?
Akhir-akhir ini saya pun banyak merenung tentang hal ini. Saya mengenal organisasi ini awal tahun 2000 lalu melalui milis. Karena memang milislah yang menjadi jantung sekaligus nafas organisasi ini. Banyak sudah yang didapatkan oleh anggotanya, terutama forum-forum diskusi virtual yang melibatkan banyak anggota. Saya sendiri tidak tahu persis berapa anggota MES, angkanya kalau tidak salah telah mencapai ratusan.
Terus mencermati dan juga bersemangat memberikan kontribusi, saya berfikir, mungkin ada perspektif lain dalam memandang MES ini. Saya kini lebih tertarik melihat MES bukan sebagai organisasi konvensional (lazimnya lembaga nirlaba), tetapi sebagai komunitas tertentu yang bertujuan mengaplikasikan prinsip-prinsip ekonomi syariah dalam aktifitas sehari-hari. Melihat MES sebagai sebuah komunitas tentu berbeda dengan menyikapi MES sebagai organisasi.
Berlandaskan perspektif ini (MES sebagai Komunitas), maka sudah selayaknya anggota MES semakin banyak dan membesar. Tetapi membesar untuk apa? Pertanyaan ini sangat krusial jawabannya karena ia akan membedakan proses interaksi dan aktifitasnya dengan perspektif sebelumnya (MES sebagai organisasi). Secara sederhana komunitas ekonomi syariah membesar maka sepatutnya aplikasi ekonomi syariah semakin memasyarakat.
Artinya aplikasi ekonomi syariah bukan hanya untuk disosialisasikan pada masyarakat diluar MES tetapi sepatutnya dipastikan terlebih dahulu secara detil aplikasi ekonomi syariah diaplikasikan secara konsisten oleh anggota komunitas MES. Dengan begitu, MES pertama kali harus menjadi wadah eksperimen atau pilot project dari aplikasi-aplikasi ekonomi syariah.
Misalnya. di dalam komunitas MES sebaiknya secara mapan mekanisme zakat telah teraplikasikan, jejaring aplikasi sosial, ta'awun hingga takaful (bukan bermakna asuransi) antara anggota telah terwujud. MES jangan terkesan hanya kumpulan anggota yang relatif tergolong muzakki tapi tidak jelas apakah mereka menunaikan kewajiban membayar zakatnya. MES sepatutnya komunitas lengkap dimana mekanisme tolong menolong (ta'awun) dan saling menanggung (takaful) terwujud. Maknanya komunitas MES tidak eksklusif berisi para eksekutif muda dan akademisi tetapi juga masyarakat marginal yang juga semangat beraktifitas sesuai dengan syariah.
Pada aspek konsumsi, komunitas ini mampu menjaga prilaku konsumsinya pada barang-barang yang halal, sehingga informasi barang dan jasa yang halal haruslah terus ter-update dalam komunitas ini. Bahkan dalam kondisi krisis seperti sekarang ini komunitas MES mampu menggerakkan kampanye penggunaan barang lokal/domestik dengan nilai tambah berupa pertimbangan kehalalan.
Aspek konsumsi bahkan dapat dilengkapi dengan interaksi syariah di sisi produksi, dimana anggota komunitas bisa saling tukar menukar informasi tentang usaha, kerjasama investasi dan lain sebagainya. Bukankah aktifitas utama ekonomi syariah yang berbasis bagi hasil membutuhkan pre-requisite utama seperti understanding business & partners? dan bukankah komunitas MES sepatutnya mampu menjadi komunitas yang menjalankan itu, mencontohkan dan menularkan pengalaman ini.
Dengan begitu komunitas MES betul-betul menjadi komunitas panutan dalam berinteraksi ekonomi. Menggunakan perspektif dan pendekatan komunitas ini, tentu aktifitas MES sepatutnya konsentrasi pada pemberdayaan anggotanya yang memang telah ratusan ini. Di milis lebih banyak anggota yang silent daripada yang aktif berdiskusi, padahal menggunakan pendekatan komunitas ini semua anggota akan terberdayakan dan diharapkan perannya dalam mem-pilot projeck-kan ekonomi syariah dalam MES.
Dengan demikian, MES tidak terkesan hanya menjadi wadah para akademisi dan praktisi yang komunitasnya hidup hanya oleh diskusi dan diskusi. MES harus juga berubah tidak hanya sekedar forum diskusi (majelis ilmu) tetapi menjadi forum (komunitas) amal. MES harus mampu menunjukkan seperti apa masyarakat yang mengaplikasikan nilai-nilai ekonomi syariah itu sebenarnya, yaitu masyarakat yang berekonomi secara syariah. Sehingga pada gilirannya sosialisasi akan mudah dilakukan (it goes without saying).
Dibutuhkan komitmen menjalankan ini, dibutuhkan rasa saling percaya dan itu tentu harus dimulai dengan ta'aruf (berkenalan), sampai sekarang pun saya masih belum kenal siapa saja anggota MES atau bahkan pengurus MES. Tetapi bukan tidak mungkin suatu saat masyarakat itu bisa terwujud. Masyarakat yang aktif secara ekonomi, muzakki yang selalu membantu mustahiknya, masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral islam dalam prilaku ekonominya, mengaplikasikan secara konsisten ketentuan-ketentuan syariah dalam aktifitas ekonomi (produksi, konsumsi dan distribusi). Mari kita wujudkan di komunitas kita ini dulu, di MES.
Wallahu a'lam bishawab
ali sakti
anggota Departemen Kajian dan
Pemikiran Ekonomi Islam
Masyarakat Ekonomi Syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar