Perlahan-lahan aset perbankan nasional beralih tangan kepada perusahaan asing. Dan beberapa kawan mengomentari kecenderungan ini. Sayapun terusik untuk sedikit “mempermasalahkan” fenomena ini. Analisa saya secara sederhana seperti ini; masuknya kapitalis asing boleh jadi mencerminkan beberapa indikasi:
1. pasar ekonomi domestik yang besar masih menjanjikan keuntungan abnormal profit. perlu diingat besarnya pasar dapat terjadi akibat semakin konsumtifnya pelaku pasar atau karena memang jumlah populasi pelaku pasar yang besar. Indonesia memiliki populasi yang besar dan sangat berpotensi untuk "memperdalam" pasar melalui rangsangan preferensi konsumsi dari pelaku yang ada. bayangkan populasi Malaysia yang "cuma" 24 juta dibandingkan populasi Indonesia yang 230 juta. pembesaran volume ekonomi Malaysia yang paling realistis saat ini hanyalah ekspor, tapi dengan kondisi ekonomi global yang krisis, yang membuat semua negara menahan belanja impor, jalan yang memungkinkan bagi Malaysia untuk menjaga volume ekonominya adalah meningkatkan perekonomian domestik. tapi apa yang diharapkan dari 24 juta populasi ketika perekonomian mendekati kapasitas terpasang (full employment), paling-paling memaksa warga negara semakin konsumtif (kalo ga mau dibilang semakin rakus). akhirnya masuk akal jika strategi yang ditempuh Malaysia untuk memperluas pasar, sekaligus menyalurkan capital idle dalam negeri mereka berupa ekspansi ekonomi berupa pembelian aset negara lain/swasta di negara lain. pembelian itu hakikatnya hanyalah memperluas pasar.
2. margin profit sektor riil kita tergolong paling tinggi rate-nya, khususnya di sektor UMKM. ga heran makin banyak capitalist raksasa asing terjun "total football" di sektor tersebut. lihat saja langkah-langkah citifinance dan DBS yang merambah hingga tingkat kecamatan dalam melayani kebutuhan pembiayaan UMKM, dimana sebelumnya Danamon dengan DSP-nya mencoba menantang pemain lama yaitu BRI unit. kecenderungan ini hakikatnya tidaklah memakan pangsa pasar LKM/S (lembaga keuangan mikro/syariah) mengingat kebutuhan modal usaha yang masih besar di sektor ini, sementara existing lembaga keuangan mikro kapasitasnya sangatlah minim. beberapa sumber menyebutkan potensi UMKM itu sampai mencapai Rp3000 triliun sementara kapasitas LKM/S maksimal paling-paling hanya Rp30 triliun.
bagaimana konsekwensi dari kecenderungan ini? bisa plus bisa minus tergantung kita menggunakan kaca mata apa. tapi saat ini saya hanya ingin menggunakan kaca mata nasionalisme saja, sehingga konsekwensi minus yang akhirnya muncul dibenak saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar