Rabu, 26 Agustus 2009

UMKM dan LKMS Indonesia: Nasi atau Sekedar Gula-Gula Ekonomi?


Beberapa hari lalu tanggal 13 sampai dengan tanggal 20 Agustus 2009 saya berkesempatan menemani bekas dosen saya di program Master of Economic IIU Malaysia Dr. Mohammed Obaidullah, untuk menggali informasi terkait pelaksanaan BMT dan Koperasi Syariah di Indonesia. Penelitian pada BMT dan Koperasi Syariah Indonesia merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya tentang keuangan mikro di negeri-negeri muslim termasuk Indonesia yang Beliau selesaikan tahun lalu.

Beliau ternyata mengaku menemukan sistem keuangan mikro di Indonesia termasuk keuangan mikro syariah, sebagai sistem keuangan mikro yang paling lengkap. Di Indonesia keuangan mikro secara formal diatur dan menjadi bagian integral sistem keuangan nasional. Lembaga keuangan mikronya paling variatif, infrastrukturnya pun terbilang telah berjalan dengan baik. Khusus untuk keuangan mikro syariah BMT memainkan peran yang cukup signifikan dalam pengembangan usaha mikro Indonesia.

Keuangan mikro syariah Indonesia telah menjadi nafas lain dalam gegap-gempita pengembangan sistem keuangan syariah nasional. Bahkan keuangan mikro syariah ini telah mewarnai bangunan sistem keuangan syariah nasional, terlebih lagi secara formal sektor perbankan memiliki lembaga bank yang fokus pada keuangan mikro syariah yaitu BPRS. Dan pada sisi perbankan umum, portfolio pembiayaannya didominasi oleh pembiayaan UMKM (lebih dari 70%).

Kondisi ini membuat corak keuangan syariah Indonesia memiliki karakteristik yang kuat dalam mendukung perkembangan sektor produktif (sektor riil) sekaligus menjaga tingkat kepatuhan pada prinsip syariah pada level yang diatas rata-rata negara lain. Karakteristik ini yang diyakini mampu menjaga daya tahan industri keuangan syariah terhadap badai keuangan eksternal.

Dr. Obaidullah bahkan menyinggung inkonsistensi dan ketidakjelasan arah pengembangan sistem keuangan syariah di Malaysia. Malaysia menggunakan strategi duplikasi keuangan konvensional untuk mengembangkan industri keuangan syariah mereka. Tetapi menurut beliau, at the end of the day, sistem keuangan syariah kehilangan identitasnya, kehilangan diferensiasinya, kehilangan keunggulannya, kehilangan relevansinya, dan akhirnya kehilangan kemafaatannya. Akibat tidak memiliki diferensiasi kata Beliau, pakar di Malaysia sudah berpendapat disiplin ilmu ikutan dari keuangan syariah seperti Akuntansi Syariah menjadi tidak dibutuhkan. Karena esensi prakteknya keuangan syariah tidak beda dengan keuangan konvensional.

Pengakuan pada dinamika keuangan mikro Indonesia, pada hakikatnya mencerminkan perkembangan yang baik pula pada sektor mikro atau UMKM Indonesia. Besarnya labor force yang terserap di sektor UMKM dan dominasi struktur perekonomian serta dengan besarnya pasar Indonesia, UMKM menjadi tambang emas bagi sektor usaha Indonesia. UMKM seharusnya menjadi industri yang dipelihara, dipertahankan dan akhirnya menjadi kebijakan formal yang dominan dalam pembangunan ekonomi nasional. UMKM tidak sepatutnya menjadi sektor yang dimarginalkan secara politik, hukum, sosial-budaya dan pendidikan.

Secara politik, UMKM tidak menjadi perhatian para politisi sehingga minim sekali kita lihat produk-produk hukum semacam UU yang mendukung pengembangan sektor ini. UU untuk sektor ini baru saja muncul tahun lalu yaitu UU No. 20 tahun 2008 setelah lama ditunggu, sementara UU Lembaga Keuangan Mikro yang sangat ditunggu masih terkatung-katung entah dimana. Sedangkan dari sisi hukum, usaha UMKM paling minim pelindungan hukumnya, terlebih lagi sektor mikro-kecil informal yang selalu terusir dari tempat mereka berusaha dengan dalih ketertiban dan keindahan.

Dari sisi sosial-budaya UMKM dikelompokkan pada usaha yang rendah, tidak berkualitas dan murahan, terlebih lagi usaha mikro-kecil-informal. Kesan-kesan tersebut kemudian membuat dunia pendidikan tidak memberi tempat sedikitpun untuk lahirnya sarjana-sarjana UMKM dan keuangan mikro. Sektor-sektor UMKM dan keuangan mikro hanya akan mendapatkan SDM residu yang memang tidak diterima sektor usaha besar –formal. SDM UMKM dan keuangan mikro cenderung SDM berkualitas second best (kecuali mereka yang memiliki idealisme).

Namun dengan sempitnya ruang gerak di sektor keuangan buntut krisis keuangan global, lembaga keuangan besar khususnya perbankan mencoba mencari terobosan baru dengan melirik sektor usaha riil mikro di pasar-pasar potensial seperti Indonesia. Potensi pasar indonesia yang begitu besar membuat banyak lambaga keuangan termasuk lembaga keuangan asing mulai fokus berstrategi menggarap usaha mikro tanah air. Namun tidak semua mereka mampu mengulang sukses BRI unit, meskipun BRI unit relatif hanya berfokus pada sektor pertanian dan daerah pedesaan. Banyak kendala yang mereka hadapi.

Salah satu kendala yang serius yang dihadapi oleh perbankan umum (komersil) dalam melayani UMKM, adalah prosedur atau birokrasi perbankan yang tidak cocok dengan karakteristik UMKM. Kondisi dan budaya bisnis yang beragam dan tradisional membuat UMKM relatif tidak sesuai dengan birokrasi bank umum yang biasanya lebih rapih, sistematis dan terukur. Itu mengapa, lembaga keuangan mikro non-perbankan relatif lebih mampu memainkan perannya melayani sektor ini.

Lihat saja bagaimana Koperasi dan BMT mampu menjamur dan berkembang di sudut-sudut pasar atau sentra- sentra ekonomi kecil. Koperasi sudah mencapai lebih dari 149.793 unit dimana didalamnya terdapat lebih dari 3200 BMT. Disamping itu telah ada 4000 lebih BRI unit, 500 lebih lembaga dana sosial yang juga melayani kebutuhan keuangan mikro. Atau cermati strategi beberapa bank asing masuk ke sektor mikro ini melalui bentuk lembaga pembiayaan.
Agar tidak kehilangan kekuatan ekonomi domestiknya, pemerintah harus secara serius menata sektor UMKM sekaligus keuangan mikro dan mengkoreksi kebijakan pembangunan ekonominya agar lebih memperhatikan sektor UMKM domestik. UMKM dengan keuangan mikronya sudah sangat layak menjadi jatidiri perekonomian nasional.

Tidak ada komentar: