Minggu, 11 Oktober 2009

Seri Akhlak Ekonomi Islam: Time Value of Money

Pertanyaan apakah ada time value of money dalam Islam, selalu ditanyakan banyak pihak dari pakar hingga praktisi. Karena jawaban dari pertanyaan ini akan menggambarkan bagaimana sikap (treatment) ekonomi Islam dalam menentukan parameter-parameter keputusan investasi. Jawaban inipun boleh jadi akan menjadi salah satu tolak ukur untuk mendeferensiasi ekonomi Islam dengan ekonomi modern saat ini, khususnya di sektor keuangan.

Time value of money pada dasarnya merepresentasikan time preference seseorang (pelaku ekonomi) dalam memegang uang. Berdasarkan teori ini, seorang pelaku ekonomi sudah diasumsikan akan lebih cenderung memegang uang saat ini daripada masa yang akan datang. dengan menggunakan asumsi konvensional, bahwa preferensi manusia hanya digerakkan oleh dirinya sendiri (human nature), maka tentu tidak ada yang salah dalam teori time value of money ini.

Hanya yang menjadi pertanyaan apakah ekonomi Islam memiliki konsep yang sama terhadap isu ini? di dalam teori ekonomi Islam harus diakui bahwa manusia memiliki kebutuhan sesuai kefitrahan yang ada pada dirinya. Tetapi cara memenuhi kebutuhan itu, ia tidak bebas melakukan hal apa saja yang ia mau. Karena ia dibatasi oleh hukum (syariat) dan nilai-nilai yang diyakininya (akidah dan akhlak).

Saya ingin membahas teori ini jauh pada dasar filosofinya, pada asumsi-asumsi yang menjadi pondasi mengapa time value of money itu ada. Oleh sebab itu, saya akan membahasnya melalui teori prilaku ekonomi. Karena boleh jadi perbedaan time value of money dalam perspektif Islam bukan semata-mata pada aplikasi lapangan tetapi jauh pada asumsi dasar prilaku ekonomi.

Berkaitan dengan uang (harta), dalam ekonomi Islam pertanyaan yang krusial pada hakikatnya bukanlah “berapa” atau “kapan”. Tetapi yang lebih penting adalah pertanyaan “untuk apa”. Pertanyaan pertama (berapa dan kapan), seakan-akan sudah berasumsi bahwa manusia semua memiliki preferensi yang sama, bahwa manusia konsisten dengan prinsip atau rasionalitas ekonomi “maximizing pleasure minimizing pain” (jeremy bentham, 1748-1823).

Jika manusia hanya bersandar pada kefitrahannya saja maka tidak heran jika preferensi mereka terhadap uang akan menjadi seperti apa yang telah dinyatakan dalam penjelasan time value of money. Dan hal ini sebenarnya telah dijelaskan oleh Tuhan melalui firman-Nya dan Nabi melalui sabda Beliau.

“Dan sesungguhnya kecintaan kepada kebaikan (harta) manusia itu amat sangat”. (Al Aadiyaat: 8)
“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir”. (Al Ma’arij: 19-21)
“Andaikata manusia manusia itu telah mempunyai harta benda sebanyak dua lembah, mereka masih ingin untuk mendapatkan satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi perutnya sampai penuh melainkan hanya tanah (maut). Dan Allah menerima tobat orang yang tobat kepada-Nya”. (HR. Muslim)

Sementara dalam ekonomi Islam, dengan mempertimbangkan akidah dan akhlak bukan hanya sekedar syariat (hukum), berapapun harta (uang) itu dan apapun bentuknya, hal itu tidak menjadi penting, karena yang menjadi konsep seseorang memegang harta sepatutnya adalah seberapa manfaat harta itu. Konsep kemanfaatan menjadi begitu krusial dalam ekonomi Islam. Konsep ini bersandar pada akhlak Islam yang menyebutkan:

“sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain”. (Al Hadits)
“harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang-orang shaleh”. (Al Hadits)

Konsep Islam dalam ekonomi bukanlah konsep individual, dimana kepuasan atau kenikmatan maksimal menjadi orientasi ekonomi (kepuasan atau kenikmatan individual ini pun sifatnya materialistik). Islam lebih mengusung konsep kolektif, dimana orientasi kepuasan tertuju pada kepuasan bersama. Kepuasannya juga tidak hanya terbatas pada fisik.

Berdasarkan sandaran akhlak di atas, seseorang pelaku ekonomi Islam (homo islamicus) juga akan puas jika dapat meringankan beban orang lain dengan hartanya, atau setidaknya tidak dinilai oleh Tuhan sebagai manusia yang tidak beriman karena mengabaikan manusia disekitarnya hingga kelaparan.

“tidak beriman seseorang jika ia bisa tidur nyenyak sementara ada tetangganya yang kelaparan”. (Al Hadits)

Dalam ekonomi islam tidak terdapat asumsi bahwa sejumlah uang akan memberikan fixed income karena memang ekonomi Islam tidak memiliki konsep fixed pre-determined return yang dimiliki oleh keuangan konvensional melalui konsep bunga (interest based economy). Dengan konsep pemastian keuntungan atas sejumlah uang tentu seseorang akan cenderung memegang uang saat ini dibandingkan nanti, karena telah ada keuntungan yang pasti yang ia bisa dapatkan dari memegang uang itu saat ini. Atau jika ia memegang uang itu nanti tentu harus ada kompensasi terhadap keuntungan yang seharusnya ia dapatkan.

Dalam Islam uang bukanlah komoditi, ia sekedar alat menilai barang/jasa (cermin dari suatu aset) atau alat transaksi. Treatment terhadap uang dan prilaku yang melingkupinya sangat tergantung pada kondisi manusia yang memegangnya. Baik kondisi akidahnya, akhlaknya, ataupun kondisi keluasan pengetahuan dia pada hukum Islam.

Berdasarkan sandaran akhlak ekonomi di atas, preferensi seseorang terhadap memegang uang yang dikaitkan dengan waktu menjadi tidak relevan. Preferensi memegang uang sepatutnya dikaitkan dengan kemanfaatan uang tadi.

Dalam ekonomi konvensional keputusan investasi lazimnya ditentukan dari perbandingan risk-free interest dengan ekspektasi keuntungan pada suatu projek investasi, dimana time value of money menjadi konsep sentral dalam kasus investasi ini. Tetapi berdasarkan akhlak ekonomi Islam, secara ekstrem seorang pelaku tetap akan berinvestasi meskipun tidak ada return (misalnya BEP), alasannya karena dengan investasi itu ia telah memberikan kemanfaatan bagi orang yang menganggur sehingga ia dapat bekerja dan menghidupi keluarganya.

Namun begitu, teori time value of money dapat saja menjadi relevan dalam konsep ekonomi atau keuangan Islam, ketika definisi time value-nya melingkupi unsur-unsur metafisik yang menjadi keyakinan dalam nilai-nilai akidah dan akhlak Islam. Tetapi redefinisi ini tetap saja membutuhkan perubahan mendasar dari asumsi-asumsi ekonominya. wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: