Kamis, 15 Oktober 2009

Diskusi Tentang Time Value of Money

2009/10/12 ali sakti
punten sebelumnya Akang dan Teteh di Milis, khususnya para Dosen IESP yang tercinta, menarik membahas apa yang sudah didiskusikan dalam milis ini terkait dengan time value of money. berikut urun rembuk saya. mohon maaf jika ada salah tafsir dan kurang berkenan.

Saya ingin membahas teori ini jauh pada dasar filosofinya, pada asumsi-asumsi yang menjadi pondasi mengapa time value of money itu ada. Oleh sebab itu, saya akan membahasnya melalui teori prilaku ekonomi. Karena boleh jadi perbedaan time value of money dalam perspektif Islam bukan semata-mata pada aplikasi lapangan tetapi jauh pada asumsi dasar prilaku ekonomi.

Berkaitan dengan uang (harta), dalam ekonomi Islam pertanyaan yang krusial pada hakikatnya bukanlah “berapa” atau “kapan”. Tetapi yang lebih penting adalah pertanyaan “untuk apa”. Pertanyaan pertama (berapa dan kapan), seakan-akan sudah berasumsi bahwa manusia semua memiliki preferensi yang sama, bahwa manusia konsisten dengan prinsip atau rasionalitas ekonomi “maximizing pleasure minimizing pain” (jeremy bentham, 1748-1823).

Jika manusia hanya bersandar pada kefitrahannya saja maka tidak heran jika preferensi mereka terhadap uang akan menjadi seperti apa yang telah dinyatakan dalam penjelasan time value of money. Dan hal ini sebenarnya telah dijelaskan oleh Tuhan melalui firman-Nya dan Nabi melalui sabda Beliau.

“Dan sesungguhnya kecintaan kepada kebaikan (harta) manusia itu amat sangat”. (Al Aadiyaat: 8)

“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir”. (Al Ma’arij: 19-21)

“Andaikata manusia manusia itu telah mempunyai harta benda sebanyak dua lembah, mereka masih ingin untuk mendapatkan satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi perutnya sampai penuh melainkan hanya tanah (maut). Dan Allah menerima tobat orang yang tobat kepada-Nya”. (HR. Muslim)

Sementara dalam ekonomi Islam, dengan mempertimbangkan akidah dan akhlak bukan hanya sekedar syariat (hukum), berapapun harta (uang) itu dan apapun bentuknya, hal itu tidak menjadi penting, karena yang menjadi konsep seseorang memegang harta sepatutnya adalah seberapa manfaat harta itu. Konsep kemanfaatan menjadi begitu krusial dalam ekonomi Islam. Konsep ini bersandar pada akhlak Islam yang menyebutkan:

“sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain”. (Al Hadits)

“harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang-orang shaleh”. (Al Hadits)

Konsep Islam dalam ekonomi bukanlah konsep individual, dimana kepuasan atau kenikmatan maksimal menjadi orientasi ekonomi (kepuasan atau kenikmatan individual ini pun sifatnya materialistik). Islam lebih mengusung konsep kolektif, dimana orientasi kepuasan tertuju pada kepuasan bersama. Kepuasannya juga tidak hanya terbatas pada fisik.

Berdasarkan sandaran akhlak di atas, seseorang pelaku ekonomi Islam (homo islamicus) juga akan puas jika dapat meringankan beban orang lain dengan hartanya, atau setidaknya tidak dinilai oleh Tuhan sebagai manusia yang tidak beriman karena mengabaikan manusia disekitarnya hingga kelaparan.

“tidak beriman seseorang jika ia bisa tidur nyenyak sementara ada tetangganya yang kelaparan”. (Al Hadits)

Dalam ekonomi islam tidak terdapat asumsi bahwa sejumlah uang akan memberikan fixed income karena memang ekonomi Islam tidak memiliki konsep fixed pre-determined return yang dimiliki oleh keuangan konvensional melalui konsep bunga (interest based economy). Dengan konsep pemastian keuntungan atas sejumlah uang tentu seseorang akan cenderung memegang uang saat ini dibandingkan nanti, karena telah ada keuntungan yang pasti yang ia bisa dapatkan dari memegang uang itu saat ini. Atau jika ia memegang uang itu nanti tentu harus ada kompensasi terhadap keuntungan yang seharusnya ia dapatkan.

Dalam Islam uang bukanlah komoditi, ia sekedar alat menilai barang/jasa (cermin dari suatu aset) atau alat transaksi. Treatment terhadap uang dan prilaku yang melingkupinya sangat tergantung pada kondisi manusia yang memegangnya. Baik kondisi akidahnya, akhlaknya, ataupun kondisi keluasan pengetahuan dia pada hukum Islam.

Berdasarkan sandaran akhlak ekonomi di atas, preferensi seseorang terhadap memegang uang yang dikaitkan dengan waktu menjadi tidak relevan. Preferensi memegang uang sepatutnya dikaitkan dengan kemanfaatan uang tadi.

Dalam ekonomi konvensional keputusan investasi lazimnya ditentukan dari perbandingan risk-free interest dengan ekspektasi keuntungan pada suatu projek investasi, dimana time value of money menjadi konsep sentral dalam kasus investasi ini. Tetapi berdasarkan akhlak ekonomi Islam, secara ekstrem seorang pelaku tetap akan berinvestasi meskipun tidak ada return (misalnya BEP), alasannya karena dengan investasi itu ia telah memberikan kemanfaatan bagi orang yang menganggur sehingga ia dapat bekerja dan menghidupi keluarganya.

Namun begitu, teori time value of money dapat saja menjadi relevan dalam konsep ekonomi atau keuangan Islam, ketika definisi time value-nya melingkupi unsur-unsur metafisik yang menjadi keyakinan dalam nilai-nilai akidah dan akhlak Islam. Tetapi redefinisi ini tetap saja membutuhkan perubahan mendasar dari asumsi-asumsi ekonominya. wallahu a’lam.

Arief Anshory Yusuf
Kang Ali dkk,
Bagaimana kalau kita sederhanakan saja lah. Yang dimaksud itu begini hipothesis-nya atau teori-nya: "People will prefer current consumption over future consumption with the same amount" or" if people have alternative of consuming X now, he will only choose consumption in the future unless the consumption is (1+R)X where R is his/her rate o ftime preference".
Ini inti dari konsep time preference, dan ini esensi dari istilah "time value of money" atau "economic value of time" dalam economics. What do you guys think? is it compatible with Syari'a or not?

ali sakti
Kang Arief
kalau akang tanya pada saya, apa saya mau terima pemberian uang itu, tentu saya terima-terima aja uang mau sekarang atau nanti, masa rezeki di tolak :) tapi kalo uangnya dalam akad utang ntar dulu deh, lagi ga mau ngutang neh.... hehehehe... tapi jangan jadikan jawaban saya sebagai parameter kevalidan time value of money dalam Islam :)

ada satu cerita klasik yang sedikit-banyak punya makna menyikapi isu time value of money ini, cerita tentang kehidupan sahabat Nabi bernama Umair. Beliau pada masa Umar bin Khattab ditunjuk sebagai Gubernur. beliau menjadi Gubernur begitu jujur dan sederhana. Kondisi sebelum dan sesudah menjadi Gubernur relatif sama, beliau miskin terhadap harta.

pada masa pensiun, Umar bin Khattab ingin memberikan hadiah sebagai rasa prihatin dan penghargaan Beliau kepada Umair, berupa sekantung uang dinar dan beberapa lembar kain. begitu Umair menerima dua barang pemberian itu, Beliau langsung bergegas menemui Umar, dan dihadapan pemimpinnya itu Umair berkata;

"Wahai pemimpinku, terima kasih atas perhatian dan penghargaanmu, tetapi ini aku kembalikan pemberianmu berupa uang, karena mungkin masih banyak orang yang membutuhkan. sementara untuk keluargaku, aku masih memiliki sekian banyak gandum yang dapat memenuhi kebutuhan keluargaku 2-3 hari kedepan. sedangkan pemberianmu berupa kain aku terima, karena hampir-hampir saja istriku dirumah telanjang karena kekurangan pakaian."
punten kang kalo jawabannya rada ga nyambung :-)

Ari Tjahjawandita
Berarti Umair mendapat tawaran transfer payment dari Umar bin Khattab.
Kalau tawaran ini ditolak, dan kemudian diberikan kpd org yg lbh
membutuhkan, dampaknya apa terhadap perekonomian? ;-)

ali sakti
dampak sederhannya:
1. uang tadi tidak tertahan di tangan umair, karena ia masih punya persediaan makanan (asumsi ia akan konsumsi jika ia membutuhkan saja)
2. uang akan relatif terealisasi menjadi konsumsi (demand) jika ditangan orang lebih membutuhkan (fakir)

gitu kali kang Ari :-)

Harlan Isjwara
Bolehkah kita ambil kesimpulan, bahwa untuk seorang Islam yang baik,
menerima uang sekarang atau tahun depan tidak ada bedanya, selama memang
dia belum membutuhkan uang itu ? Jika dia butuh sekarang, dia akan memilih
menerima sekarang. Jika dia tidak butuh, hidup sudah "cukup" - walaupun
tidak "kaya", maka dia akan menolak uang itu. Atau, dia menerima, untuk diteruskan
kepada orang lain yang menurutnya lebih membutuhkan

Arief Anshory Yusuf
Betul Pak Harlan, tapi ini tidak hanya berlaku buat orang Islam saja. In general semua orang juga begitu. Jadi tidak eksklusif untuk Islam. Ini umum saja. Dalam resource economics misalnya, dikenal bahwa rate of time preference itu cenderung lebih tinggi untuk orang miskin, jadi dia akan mengeksploitasi SDA disekitarnya lebih cepat. Menurut saya tidak tepat kalau ini diklaim oleh satu agama.

Menurut saya, semua orang beragama, Islam atau bukan, punya pilihan itu, konsumsi sendiri atau di-share ke orang lain. Dikonsumsi sendiri kan juga tidak haram, jadi semuanya autonomous choice. Range of spectrum-nya dari di keep sendiri sampai di-share semua ke orang lain, itu keputusan masing-masing, dan masing-masing orang Islam bisa berbeda-beda. Sama persis orang bukan Islam juga range of spectrumnya. Tidak benar misalnya kalau A dan B sama kayanya karena A Islam dan B bukan A akan share lebih banyak ke orang lain. That is counter-reality, any argument that has no empirical truth should be abandoned.

One more thing: Economics is a science that study the 'reality' of human behaviour, not the utopia of an ideal one. Otherwise, it won't have any practical policy use. What we study includes almost all aspect of behaviour including altruism, that is a 'reality', and economists do study this, among others Ibu Armida is an expert on intra-household transfers, one form of altruism known in economics. It is sometimes disappointing seeing people criticizing economics with a minimum knowledge of economics itself, because what they are criticizing are already established in economics decades ago. Look at Nobel-prize winning contribution in economics. I understand that it is hard to grasp the vast amount of economics knowledge simply based on knowledge from S1 in economics, but if we do a little bit of more research it will reveal itself. We should avoid being what I called 'ignorant' to our own discipline.

ali sakti
1. mungkin seperti itu Pak harlan :); intinya adalah ada nilai-nilai (akidah dan akhlak) dan hukum (syariah) yang kemudian mempengaruhi Economic Behavior dalam perspektif Islam. prilaku ekonomi tidak diserahkan utuh kepada kefitrahan manusia (silakan lihat penjelasan pada posting saya yang pertama). jadi membandingkan dua respon dari satu isu (time preference) pada contoh yang disodorkan Kang Arief menjadi tidak relevan jika tidak mempertimbangkan asumsi-asumsi dasar prilaku ekonominya.

2. mungkin sekarang arah dan subjek diskusi sudah beralih ya kang Arief :) dari time value of money ke isu filosofi keilmuan. untuk ini saya tidak memiliki banyak pengetahuan. tetapi sebagai urun rembuk, saya kira klaim keilmuan (yang sifatnya mengarah pada primordialisme dan fanatisme buta) bukanlah isu dalam pengembangan sebuah disiplin ilmu. dalam hal ekonomi Islam, Islam menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan keilmuan ekonomi, dimana prinsip-prinsip sistem dan nilai-nilai prilaku telah digariskan Tuhan melalui Qur'an dan Hadits. contohnya, seorang pakar ekonomi di dunia ini tidak ada yang pernah mengklaim ide "prohibition of riba & maysir" (pelarangan bunga dan spekulasi) atau "zakat system" sebagai ide dia, tetapi sumber ide itu langsung dari Tuhan yang menentukan, karena telah ada dalam firmannya di Qur'an. dari situlah kemudian berkembang aplikasi-aplikasi sistem yang bebas riba & maysir, sehingga saat ini aplikasi itu sudah merubah wajah sistem dimana telah ada industri keuangan syariah. begitu juga prilaku-prilaku ekonomi yang diinspirasi oleh akhlak-akhlak Islam, seperti zuhud, qana'ah atau ukhuwah (altruism?). intinya munculnya prilaku dan terselenggaranya sistem ekonomi itu tidak bisa dilepaskan pada kaidah-kaidah, prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam Islam, sehingga ekonomi Islam pada hakikatnya sebuah representasi dari kepatuhan pada ketentuan-ketentuan Tuhan. sehingga akhirnya nanti bagi seorang muslim, aplikasi ekonomi Islam tidak bedanya dengan shalat, puasa atau berhaji. berekonomi dalam Islam menjadi seperti berislam dalam ekonomi. makanya jangan terkejut jika logika ini juga mengemuka pada sektor non-ekonomi. akan ada konsep politik Islam, hukum, budaya dan lain-lain. karena memang Islam diposisikan sebagai sumber atau pedoman puncak dari semua aspek kehidupan manusia. inilah konsep unity of science yang diusung oleh Islam.

3. Nah, jika ternyata dalam proses mengembangnya ternyata ekonomi Islam (atau disiplin ilmu apapun) beririsan (menemukan kesamaan) dengan pemikiran lainnya, tentu itu sebuah kewajaran dan perlu disikapi dengan bijak. karena memang dalam Islam setidaknya sumber keilmuan itu diyakini bersumber dari 2 sources, yaitu; revelation (firman Tuhan) dan observation (observasi manusia pada alam dan lingkungan). dalam Islam logikanya mungkin seperti ini; manusia tidak bisa dibiarkan sendirian mengeksplorasi fikirannya dalam meramu sistem yang akan digunakan untuk mengatur dirinya, sementara dirinya mengakui ada kelemahan (keyakinan ini juga ditunjang oleh informasi dari Tuhan bahwa manusia itu, pelupa, bodoh, suka mengeluh, kikir dan lain-lain; lihat posting saya yang pertama). oleh sebab itu manusia membutuhkan guidance, dan revelation-lah yang berfungsi menjadi referensi utama. tetapi tidak dibantah bahwa fikiran-fikiran manusia dapat pula mencapai kebenaran (hikmah dan wisdom), namun kebenarannya tentu tidak absolut.

4. utopia atau ideal saya pikir juga bukan isu disini, karena pada dalam Islam hakikatnya manusia berusaha untuk mencapai keshalehan puncak sesuai dengan kemampuannya, sehingga pada dasarnya manusia sepatutnya terus berusaha menuju kondisi yang diinginkan oleh Tuhan (ini definisi dari "ideal" yang mungkin pas). tetapi dalam aplikasi menuju ideal itu ada kondisi minimal yang sudah digariskan oleh Islam, seperti yang telah saya jelaskan, misalnya prohibition of riba, maysir atau implementation of zakah.

waduh maaf Kang kalau kepanjangan.... punten pisan...

Arief Anshory Yusuf
Tanggapan untuk No. 2
Saya, sebagai ekonom, melihat fenomena ini dari sisi berbeda. Ada
ternyat prilaku-prilaku yang seperti Kang Ali sebutkan diatas dan ini
prilaku yang valid untuk diteliti. Buat saya fenomena diatas adalah
objek observasi saja untuk dikaji. Bukan apa-apa, karena memang
economics dimata saya adalah studi yang mengobservasi prilaku. Saya
bukan ahli yang lain-lain misalnya ethics.
Kalau saya melangkah lebih jauh dan menganggap bahwa nilai-nilai yang
dianut oleh orang-orang yang saya observasi harus diberlakukan secara
universal, maka saya bukan scientist, tapi 'aktivitis'.

Tanggapan untuk No. 3
Sepertinya Saya memang sedang membicarakan hal yang berbeda dengan apa
yang Kang Ali bicarakan. Saya membicarakan economics sebagai sebuah
disiplin ilmu (positive science), bukan etik atau agama (bimbingan
jalan hidup, spiritualitas). Ya jadi berbeda persepsinya. Susah untuk
nyambung kalau buat saya. kayanya kita memang beda hobi saja hahaha.
Perbedaan juga fitrah kan?


Tanggapan untuk No. 4
Setuju saja. Ini cita-cita semua orang dan mari kita upayakan kearah
sana. Pesan saya, dengan atas nama apapun, kita jangan sampai
terpeleset menyalahkan konsep-konsep economics yang sudah established
tanpa memahami dulu dengan baik apa maksudnya, serta jangan juga tidak
rela untuk disalahkan kalau konsep yang berbaju Islam memang tidak
tepat dan relevan. Kita perlu belajar dari economics yang perkembangan
nya sampai sekarang menjadi sebuah established science itu disebabkan
pengusungan metode-metode ilmiah yang open for debate and discussion.

Kang Ali,
Saya sudah sangat spesifik:
Ketika saya bilang bahwa alpha adalah share dari income untuk dibagikan ke fakir miskin dan saya bilang alpha itu nilainya antara 0 dan 1 untuk setiap orang Islam menurut saya tidak melanggar kefitrahaan manusia. Salah-nya dimana ya?
Dan saya juga bilang bahwa kalau ada hipotesis bahwa alpha orang Islam lebih besar dari alpha non Islam adalah tidak tepat, salah-nya dimana juga, kang Ali?

oh ya satu lagi, apakah Kang Ali bisa mengelaborasi ini, saya belum menangkap maksudnya:
"jadi membandingkan dua respon dari satu isu (time preference) pada contoh yang disodorkan Kang Arief menjadi tidak relevan jika tidak mempertimbangkan asumsi-asumsi dasar prilaku ekonominya."

ali sakti
:) hehehehe... fikir saya ndak salah kok kang...
mungkin akan lebih pas pergerakan/fluktuasi/variasi nilai alpha (0< a <1) bukan ditentukan oleh Islam, tetapi ditentukan oleh keimanan/keshalehan (seperti yang coba disimpulkan oleh Pak Harlan) seorang Islam pada prinsip dan nilai-nilai Islam.

jadi sangat dimungkinkan seorang Islam alphanya 0, karena ia tidak meyakini atau tidak mempedulikan nilai-nilai Islam, ia hanya memaksimalkan incomenya untuk dirinya sendiri... namun jika zakat sudah menjadi sebuah kewajiban dalam sistem, maka share kepada orang miskin tidak ditentukan oleh keimanan, karena zakat sifatnya memaksa/wajib (kepada semua orang mampu Islam, baik ia beriman atau tidak).

nah jika kita akomodasi zakat ini, maka alpha akan memiliki nilai minimum, misalnya sebesar 2,5% (0.025) dari incomenya (ini juga dengan asumsi income-nya sampai batas nishab/jumlah minimal terkena kewajiban zakat).

punten kalo malah membingungkan Kang :-)

Arief Anshory Yusuf
ah persis, good correction. untuk sebagian besar orang Islam yang mampu berlaku 0.025< alpha <1. dan berapa alpha? ini pertanyaan empiris, menarik untuk diketahui mean(alpha) dan bagaimana dia didistribusikan. tapi intinya dia empirical questions. Dan kembali alpha yang positive tidak 'unique' milik nilai/agama tertentu.

ali sakti
memang besar kecilnya alpha sangat sempit kalau dihubungkan dengan dengan nilai/agama tertentu, JIKA informasi tentang alpha hanya sebatas definisi share dari income untuk orang miskin. tetapi sah-sah saja rasanya jika ada yang menyebut alpha sebagai keunikan Islam jika ia mempertimbangkan motivasi, nilai-nilai penggerak dan praktek Islam :-)

hipotesanya kang, semakin tinggi keimanan dan keshalehan seseorang maka alpha boleh jadi akan mendekati 1 :")...

nah cerita yang pas untuk hipotesa ini adalah prilaku Sahabat Nabi yang bernama Salman Al Farisi, beliau menjadi Gubernur daerah Madain dengan gaji 5000 dirham. tetapi setiap gajian ia tidak mengambil gajinya, semua gajinya ia hibahkan kepada kas negara untuk fakir miskin. sementara untuk hidup bersama istrinya ia hanya menggunakan uang 3 dirham yang sudah menjadi bekalnya sejak berangkat dari Madinah ke Madain. 3 dirham itu ia gunakan untuk 3 keperluan; 1 dirham untuk makan, 1 dirham untuk infak dan 1 dirham terakhir untuk beli pelepah kurma kering yang dianyam oleh istrinya menjadi tikar dan dijual ke pasar seharga 3 dirham. selanjutnya dari hasil penjualan tikar itu Salman membelanjakannya seperti prilaku belanja sebelumnya... begitu seterusnya...

bisa ga ditulis begini Kang:

income M Salman = 5003 dirham
konsumsi C = (a + b) M, dimana (a) share untuk konsumsi pokok pribadi dan (b) share untuk amal shaleh dan nilai (b) itu alphanya kali ya? dimana nilainya (b) = 5001/5003 = 0,9996 atau 99,96%

secara sederhana (sederhana banget neh) mengukur keimanan dan keshalehan bisa menggunakan fluktuasi nilai variabel a & b. untuk kasus Salman diatas, salman bisa dinilai sangat shaleh, karena memaksimalkan potensi amal shalehnya (amal shaleh subject to income).

jika salman sedikit ingin berkonsumsi lebih banyak bagi dirinya sendiri boleh jadi ia akan meningkatkan (a) yang berarti akan menurunkan konsumsi amal shalehnya.

eh jadi panjang ceritanya yah....

Arief Anshory Yusuf
sebagai tambahan, karena tadi Kang Ali bilang 0.025 itu wajib. Maka saat ini alpha terbesar didunia adalah Belgia yaitu 0.6. Ini adalah income tax rate. Uang-nya dibagikan untuk kemaslahatan rakyatnya, social-security, infrastructure, melindungi rakyat yang kurang beruntung dlsb. Berikut link dari datanya: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Income_Taxes_By_Country.svg
Any other society higher than Belgia? Let me know.

ali sakti
60% wow! :-) cakep banget ya... hehehehe... kalo yang wajib aja dah segitu, yang sukarelanya mungkin jadi ga terdorong kali ya atau malah sebaliknya hehehe... gimana angka migrasinya, denger-denger fenomena migrasi karena tekanan pajak tinggi terjadi di negara eropa Kang... anyway... 60% tinggi banget ye....

Arief Anshory Yusuf
Itulah menurut saya di societal system yang lain juga banyak Salman Al Farisi - Salman Al Farisi yang lain. Cuman Di Belgia mungkin namanye Albert atau Johansen. Atau di Austalia (yang saya juga familiar) semua orang senang-senang aja alpha-nya tinggi dengan membayar pajak. Tidak ada orang tunawisma, pendidikan gratis. Maling yang dimotivasi rasa lapar sudah gak ada sama sekali. Alpha-nya lebih tinggi dari income tax banyak juga. Cuman rasanya tidak akan efektif kalau kita mau mengurangi kesenjangan dengan cara menjadikan semua orang menjadi Salman Al Farisi. Ada cara yang lebih jitu, lihat aja negara-negara yang bisa memakmurkan rakyatnya saat ini.

ali sakti
... mungkin begitu Kang, tetapi akan sangat berlebihan jika menyamakan sistem berdasarkan "kemiripan-kemiripan" dibawah itu saja, atau berdasarkan metode pemadanan-pemadanan sederhana dengan mengabaikan filosofi dasar, paradigma, prinsip, nilai-nilai, struktur, mekanisme, dan semua unsur sistem lainnya...

Arief Anshory Yusuf
"kemiripan-kemiripan" yang mana yang Kang Ali maksud?
Point saya satu saja: alpha yang besar tadi itu bukan monopoli Islam.

ali sakti
kemiripan alpha itu kang :-)
karena kalau mau detil (maaf jadi panjang lagi)

karakteristik alpha dalam Islam mungkin diklasifikasikan menjadi 2;
1. zakat yang sifatnya wajib/memaksa yang dilakukan oleh negara --> seperti tax di belgia itu ya Kang
2. infak, sedekah, wakaf, hadiah, hibah dll yang sifatnya voluntary --> digerakkan oleh keimanan

jika kita gunakan persamaan konsumsi pada posting saya sebelumnya, dimana:

C = (a + b) M, dengan memasukkan zakat (Z) maka persamaannya menjadi:
Md = M - Z --> C = (a + b) Md, b sebagai alpha yang bersifat voluntary yang digerakkan oleh keimanan tentu akan menjadi keunikan tersendiri...

Arief Anshory Yusuf
kemiripian alpha? pernyataan saya yang mana ya yang mengenai kemiripan alpha? saya bilang tidak tepat kalau besarnya alpha ditentukan oleh apakah dia Islam atau bukan. alpha yang besar is not unique to Islamic value.

mengenai fungsi konsumsi, barangkali yang dimaksud C = (a-b) Md. b adalah 'marginal propensity for charity'. Besarnya b tentunya adalah 'empirical question'. besarnya b ditentukan oleh banyak faktor, dia bisa juga dipengaruhi oleh M nonlinearly, semaking kaya orang semakin tinggi propensity for Charity-nya, kalau mau memasukan keimanan, ya boleh-boleh saja. Ukuran-nya misalnya bisa frequensi shalat tapi juga bisa frequensi ke gereja atu sinagog. cuman faktor Agama-nya apa menurut saya 'out of question'. Dalam economics pengaruh spiritualitas atau agama juga sudah banyak dibahas dalam empirical literature of economics with 'mixed' results.

ali sakti
punten Kang, mungkin dibaca lagi Kang (khususnya posting saya yang paling pertama sekali, karena itu asumsi dasar dari logika yang terbangun setelahnya), saya khawatir kali ini, betul-betul kita sedang bicara sesuatu yang berbeda :-) anyway... terima kasing banget atas sharingnya...

Arief Anshory Yusuf
Saya baca kok, tetep gak ngerti.

ali sakti
:-)... maaf ya kang

Arief Anshory Yusuf
saya baca kok, mungkin karena Kang Ali tidak secara ekplisit menjelaskan bahwa amal dan konsumsi barang dan jasa itu diagregatkan ya jadi C. Bisa jelaskan ngga apa yang dimaksud dengan C oleh Kang Ali?

Menurut saya persamaan C = (a + b)M dimana a + b = 1 tidak mengandung aspek behavour whatsoever representasinya ini artinya kan C = M?

ali sakti
Persamaan C = (a+b) M merupakan model yang menggambarkan prilaku Salman al Farisi dan mungkin lebih tepat disebut persamaan spending daripada konsumsi, dimana konsumsinya memiliki dua motivasi; amal shaleh (b) dan kebutuhan pokok (a). Persamaan ini dapat saja menggambarkan prilaku berdasarkan intensi mengalokasikan pendapatannya pada amal shaleh atau kebutuhan pribadi.

Tidak ada komentar: