Hari demi hari pasar bursa memberikan excitement yang berbeda. Hampir setiap hari di hamper semua lantai bursa pada pekan ini mencatatkan rekor kejatuhannya. Pada kamis ini Dow Jones mencatatkan rekor kejatuhan tujuh kali berturut-turut. Kini Dow mencatatkan nilai indeks dibawah angka 9000 dimana 2 hari yang lalu baru saja memasuki nilai dibawah 10.000. Berarti angka indeks itu adalah angka yang terburuk sejak tahun 2003, bermakna juga kemunduran 5 tahun kebelakang.
Dengan kondisi kacau seperti saat ini, maka muncullah keraguan yang mempertanyakan kredibilitas para pelaku pasar dan regulatornya. Karena memang di sector keuanganlah berkumpulnya manusia-manusia cerdas dengan gaya hidup kelas atas. Dimana “kesaktian” standard-standard seperti good governance, risk management, transparency, market discipline dan lain-lain. Atau sebenarnya mereka tidak concern dengan hal itu karena perhatian utama lebih tertuju bagaimana mencetak keuntungan. Dan berkelit dari segala ketentuan dianggap sebagai informasi lebih yang kemudian melayakkan mereka mendapatkan profit.
Bagaimana di Indonesia? Mungkin kalangan industry keuangan Indonesia sedang (semakin) bingung, apa yang harus mereka lakukan menghadapi krisis ini. Mereka saja belajar GCG, risk management dan segala tetek bengek standard keuangan dari biangnya keuangan yaitu Amerika. Dan kini mereka lihat “guru” mereka hancur dengan standard yang mereka yakini/kampanyekan kepada seluruh negara di dunia. Namun terlepas dari itu semua, melihat perkembangan ekonomi Indonesia saat ini dan anatomi krisis yang mulai menghinggapi perekonomian Indonesia. Saya masih optimis bahwa ekonomi Indonesia akan mampu bertahan meskipun tentu lajunya akan tertekan. Itupun kalau data-data yang ada mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Konsumsi automotif, pertumbuhan kredit dan investasi Indonesia hingga akhir semester pertama 2008 menunjukkan kecenderungan yang positif. Jika pasar modal terpuruk maknanya ada informasi yang tak sama antara yang terjadi di sector riil dan yang beredar di lantai bursa. Harapannya apa yang terjadi di lantai bursa kita hanyalah sentimen negatif yang sudah menjadi kelaziman di sana, yaitu merujuk pada apa yang menjadi kecenderungan di seluruh pasar modal dunia khususnya Amerika. Namun perlu juga dicermati seberapa besar dana-dana sector riil terikut dalam perdagangan dilantai bursa, karena ketika bursa hancur sudah pasti akan ada kesulitan likuiditas pula yang terjadi di sector riil sehingga akan berpotensi mengacaukan prediksi awal tadi.
Economist HSBC di Hong Kong berpendapat bahwa apa yang terjadi di Asia secara nature berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika dan Eropa. Sehingga ia mendukung posisi pemerintah masing-masing negara Asia untuk tidak melakukan program terpadu, merujuk pada perbedaan respon kebijakan dari tiap-tiap negara. Saat ini memang mayoritas bank sentral masing-masing negara Asia melakukan pemotongan tingkat suku bunga, tetapi ada juga yang menaikkan suku bunga mengingat struktur dan kondisi perekonomian yang tidak memungkinkan. Pendapat ini sejalan dengan data-data yang ada di lapangan khususnya perkembangan di sektor riil.
Beberapa waktu kedepan adalah waktu pembuktian seberapa kuat ekonomi Indonesia menghadapi badai ini. Selain itu, waktu kedepan juga akan menjawab apakah data kinerja perekonomian riil Indonesia sebaik yang dipublikasikan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar