Selasa, 22 Desember 2009

Indeks Ketakwaan Bangsa


Mencermati data yang disampaikan Ust. Dr. Salim Segaf Al Jufri, Menteri Sosial RI, yang menyebutkan saat ini angka kemiskinan Indonesia mencapai 76 juta dimana penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan mencapai 20 juta kepala keluarga, artinya telah terjadi penurunan persentase rakyat miskin jika dibandingkan tahun lalu yaitu dari 20% menjadi 14% pada tahun ini. Melihat data ini, saya tergelitik untuk bertanya, “Jikalau pun kemiskinan dapat dihapuskan atau diturunkan, apakah masalah ekonomi serta merta akan hilang?”

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa kemiskinan menjadi penyebab utama permasalahan-permasalahan ekonomi dan sosial. Permasalahan kemiskinan memiliki korelasi yang kuat dengan permasalahan-permasalahan sosial, seperti premanisme, gelandangan, pengemis, pelacuran dan lain sebagainya. Permasalahan sosial ini selalunya berujung pada permasalahan hukum seperti masalah-masalah kriminalisme.

Bagaimana mengelola kemiskinan atau mengentaskannya? Diyakini dalam ekonomi Islam bahwa kemiskinan merupakan keniscayaan. Kemiskinan muncul bukan hanya karena sebab-sebab yang disengaja atau salah, tetapi kemiskinan merupakan anomali-anomali wajar dalam dinamika ekonomi, sehingga perlu disikapi dengan baik dengan tidak berpandangan negatif, curiga dan skeptis terhadap kemiskinan. Kemiskinan pada seseorang atau sekelompok orang boleh jadi menjadi akibat dari sistem dan prilaku ekonomi yang salah, tetapi ia juga dapat muncul begitu saja melalui bencana, melalui takdir dan kehendak Tuhan yang tidak berhubungan dengan kesalahan sistem dan prilaku ekonomi manusia lain.

Dengan perspektif seperti itu, maka yang tidak kalah penting adalah bagaimana menyiapkan sistem dan mendidik manusia agar mampu mengantisipasi kondisi-kondisi miskin yang menjadi salah satu bentuk ujian bagi seorang individu dan masyarakat. Islam mengajarkan sistem standard (minimal) yang harus ada dalam mengantisipasi kemiskinan, yaitu sistem zakat, dimana dengan zakat setiap individu miskin akan terjamin kebutuhan dasarnya sehingga kewajiban ibadahnya tidak terganggu. Tetapi ditanamkan sebuah nilai kepada mereka yang miskin bahwa “tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah”.

Disamping itu, untuk mencegah kelompok masyarakat kaya tenggelam dengan keserakahan, kekayaan dan egoisme mereka, Islam melarang praktek-praktek curang dan zhalim dalam interaksi ekonomi, seperti riba, gharar dan maysir. Ketentuan ini juga mencegah timbulnya kemiskinan secara sistemik.

Apakah cukup dengan zakat dan pelarangan Riba? Tidak. Islam memberikan ruang gerak kepada seluruh lapisan masyarakat untuk berkontribusi dalam mengelola kemiskinan atau bahkan mengentaskannya, seperti infak, sedekah dan wakaf.

Dengan rambu-rambu dan instrumen-instrumen di atas, diharapkan masalah kemiskinan mampu dikelola dengan baik agar tidak berhujung pada masalah-maslah sosial apalagi kriminal. Keberadaan instrumen-instrumen itu kemudian dapat dijadikan indikator-indikator apakah pengelolaan kemiskinan telah dilakukan dengan baik atau tidak. Misalnya rasio koleksi zakat dengan muzakki, rasio distribusi zakat dengan mustahik, tingkat/rata-rata infak per-populasi kaya/PDB, tingkat/rata-rata sedekah per-populasi kaya/PDB atau tingkat/rata-rata wakaf per-populasi kaya/PDB.

Parameter sosial ini perlu dikembangkan dan diidentifikasi. Bahkan pada tingkat tertentu parameter ini dapat dijadikan indikator ketakwaan bangsa yang merepresentasikan baik-buruknya tingkat pengelolaan kemiskinan nasional. Atau pada skala makroekonomi, parameter ini bahkan dapat saja dikembangkan menjadi indikator kesuksesan ekonomi yang berorientasi pada tingkat keimanan bangsa. Artinya dengan berpedoman pada standard-standard hidup sukses yang sudah digariskan oleh Islam (Tuhan), dimana kesuksesan hidup disandarkan pada tingkat ketakwaan, baik individu maupun kolektif, maka parameter-parameter sosial dapat dijadikan indikator kesuksesan ekonomi nasional. Alangkah indahnya jika Indonesia menjadi negara sukses, maju dan terdepan bukan hanya kemajuan fisik ekonominya tetapi juga karena tingkat keimanannya, tingkat kedekatannya dengan Tuhan.

Tidak ada komentar: