Sabtu, 26 Desember 2009

Akhlak dan GDP

Mendiang Begawan ekonomi Indonesia, Mr. Sumitro djojohadikusumo pernah mengatakan bahwa sedikitnya 30% belanja pemerintah bocor akibat budaya korupsi, pungli dan praktek tak terpuji lainnya. Sebelumnya juga saya pernah mengungkapkan potensi ekonomi yang terbuang percuma akibat prilaku-prilaku tak terpuji yang telah menjadi kanker dalam perekonomian. Ekonomi telah terhambat kelajuan dan kemajuannya akibat transaksi perjuadian, korupsi, narkotika dan pelacuran.

Intinya dalam ekonomi ternyata terdapat transaksi-transaksi “bawah tanah” yang industrinya telah tercipta, mekanisme demand supply-nya telah berjalan, produk-produknya bahkan tidak kalah bervariasi dan semakin inovatif, tetapi sayangnya meskipun volumenya cukup besar aktifitas transaksi itu tidak pernah masuk dalam perhitungan Gross Domestic Product (GDP). Tidak diperhitungkan dalam GDP perekonomian karena memang tidak layak, mengingat aktifitasnya merupakan aktifitas yang tidak dibenarkan secara moral dan agama serta ditolak oleh nilai-nilai kebaikan universal.

Lihat saja bagaimana besarnya transaksi narkotika di Indonesia ini. BNN sudah mengeluarkan data bahwa terdapat 3,6 juta pengguna narkotika (drug addict) di Indonesia, bukankah jumlah itu suatu jumlah customer yang cukup besar bagi industri narkotika? Terlebih lagi dengan karakteristik customernya (pecandu narkotika) yang cukup agresif dalam berkonsumsi. Begitu pula dengan pelacuran, dengan perkiraan terdapat kurang lebih 12 juta pelanggan di tanah air, tidak heran industri pelacuran semakin menarik untuk digeluti oleh supplier atau investor. Bahkan tidak jarang banyak pejabat, baik local maupun nasional, yang tertarik untuk melegalkan industri ini.

Sementara itu, industri perjudian memiliki cerita yang hampir sama dengan pelacuran, namun bedanya industri ini ternyata memiliki karakteristik yang berbeda dengan pelacuran. Industri perjudian memiliki dua sisi, dimana satu sisi masih di-illegal-kan, sedangkan sisi yang lain sangat dilegalkan bahkan telah meraksasa dan menggurita keseluruh pelosok bumi. Yang illegal adalah praktek-praktek perjuadian vulgar seperti judi lotre, judi kartu, dan lain sebagainya. Sementara, yang legal adalah praktek-praktek spekulasi di pasar-pasar modal, uang dan derivative. Berapa raksasa industri ini? Menurut satu data NGO Amerika Serikat perbandingannya mencapai ratusan kali-lipat dibandingkan volume transaksi barang-jasa (sector riil).

Bagaimana dengan korupsi? Speechless rasanya melihat industri korupsi di negeri ini. Karena industri ini meskipun ia begitu raksasa dan meliputi semua industri yang ada, meliputi semua sektor ekonomi, meliputi semua tingkatan pelaku dan strata ekonomi, tetapi ia tidak pernah masuk dan membesarkan GDP. Industri ini bahkan eksis bukan hanya di ranah ekonomi, tetapi (bahkan lebih subur) di ranah politik dan hukum. Berapa besar industri ini telah menyia-nyiakan potensi ekonomi tanah air? Kalau saja perkiraan mendiang Pak Sumitro tadi benar, itu baru mencerminkan volume industri korupsi sector public, belum termasuk sector swasta. Jadi jawaban untuk pertanyaan berapa besarnya industri ini, cukup dijawab sangat besar.

Semakin buruk dan membesar industri-industri negative di atas tadi, maknanya semakin besar pula potensi ekonomi yang terbuang sia-sia. Artinya akan semakin menganga saja jurang antara GDP riil dengan GDP potensialnya. Kalau kita hitung menggunakan logika sederhana, maka perkiraan gap-nya seperti ini:

Jika saat ini diketahui GDP Indonesia mencapai USD 400 million-an, dan kebocoran ekonomi akibat industri tak terpuji sebesar 30% dari potensi GDP, maka gap potensinya:

GDP potensial = USD 400 million/70% = USD 571 million
Gap potensi = USD 571 milllion – USD 400 million = USD 171 million

Artinya, kalau saja akhlak ekonomi masyarakat indosnesia lebih baik, akibat moral dan agama begitu riil mampu diaplikasikan dalam ekonomi, maka transaksi-transaksi negative diatas akan masuk dalam ruang-ruang legal ekonomi dalam bentuk yang lebih baik. Maknanya dengan akhlak masyarakat yang lebih baik, maka ekonomi dapat membangun size sekaligus kualitas pada skala yang lebih besar. Dengan begitu volume ekonomi yang direfleksikan oleh angka GDP, akan menunjukkan angka yang mendekati potensinya.

Tidak ada komentar: