Memuncak perasaan dan emosiku di hari kemenangan (Aidil Fitri 1430 H) kali ini. Aku banyak lihat orang bicara tentang kebaikan hanya dalam kemasan-kemasan dunia bukan lagi tuntutan hati. Aku lihat dicermin diriku pun masih melakukan hal yang tidak berbeda. Lihatlah kita yang ada di majelis-majelis kebaikan, diatas-atas mimbar dan di acara-acara televisi, bicara tentang kemiskinan dan kedermawanan sementara tangan mereka bergelimang harta dan kemegahan. Mereka bicara tentang kezuhudan dan qona’ah sementara mulutnya juga masih penuh dengan makanan dan minuman yang belum terkunyah.
Aku lihat kehancuran ummat ini perlahan-lahan. Bahkan aku lihat kehancuran itu seiring dengan tawa dan canda mereka. Ya mereka tidak menyadari kalau diri mereka tengah menghancur. Sendi-sendi kehidupan mereka semakin rapuh tak memiliki tenaga. Karena mereka semakin jauh dari Tuhan mereka. Mereka terlena dengan hasutan syetan dan bala tentaranya, mereka fikir mereka sedang berdoa, padahal sedang bersidekap dengan dosa. Mereka fikir amal mereka sudah menggunung, padahal dosa sudah meliputi alam semesta.
Saat-saat seperti inilah kita semua memerlukan akal sehat yang lebih dari biasanya. Akal sehat yang sekedar membuat kita tidak larut dalam kepalsuan masal. Diluar sana, banyak orang yang telah menyerah dengan keadaan. Mereka fikir arus kehancuran adalah kebaikan bagi mereka. Kalaupun ada yang mampu melihat hakikat kerusakannya arus ini terlalu deras untuk mereka bendung. Dan akhirnya kepalsuan menjadi nilai dan keyakinan. Kepalsuan menjadi gaya hidup yang secara perlahan semakin susah dikenali keburukannya. Karena semakin masif semakin berubah ia menjadi kebenaran.
Bentuk keburukan inilah yang menjadi tantangan terbesar bagi dakwah ekonomi Islam. Perjuangan menegakkan islam dalam aktifitas ekonomi harus berhadapan dengan masalah terbesarnya, yaitu prilaku manusia itu sendiri. Mendidik dan membina manusia menjadi kerja-kerja awal dalam pembangunan system ekonomi. Sementara itu pengorbanan menjadi konsekwensi yang wajib bagi para pejuang-pejuangnya. Hal inilah yang kemudian membuat perjuangan penegakkan atau sekedar melambatkan arus kehancuran semakin berat. Perjuangan berhadapan dengan ketidaksadaran mayoritas manusia, sikap artificial mereka, kondisi mabuk dunia dan kerikil-kerikil jalan bagi pejuang-pejuang dakwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar