Jumat, 04 Desember 2009

Kemiskinan




Kali ini saya ingin bicara sedikit tentang kemiskinan. Data kemiskinan terakhir menyebutkan ada kurang lebih 45 juta orang dari populasi bangsa ini yang hidup dalam kemiskinan. Pemerintah sendiri tahun ini mengalokasikan sekitar Rp60-an triliun sebagai anggaran untuk mengatasi masalah kemiskinan. Angka total bagi kemiskinan tentu jauh lebih besar jika dihitung pula angka pengeluaran sector swasta dan program pemerintah lain yang terkait masalah kemiskinan.

Tetapi mengapa kemiskinan belum juga berubah posisinya, misalnya sedikit lebih sejahtera gitu? Kualitas dan kuantitas orang kaya semakin-hari semakin meningkat. Gaya-gaya hidup mereka yang kaya disekitar saya menunjukkan gejala itu. Symbol-simbol gaya hidup kaya semakin bervariatif dan cenderung meninggi. Sementara manusia miskin, tetap seperti itu, tak punya apa-apa. Definisi kaya semakin hari semakin mewah dan megah, sementara definisi miskin tidak mengalami perbaikan.

Ditulisan ini saya tidak ingin memecahkan semua masalah kemiskinan, dan tidak juga ingin memberikan gambaran utuh peta kemiskinan yang ada, sehingga rekomendasinya akan valid bagi upaya-upaya pengentasannya. Saya hanya ingin menulis fenomena kontras yang saya bias tangkap melalui mata dan rasa.

Kemiskinan saat ini pada saya tidak lagi hanya sekedar fenomena akibat dari sebuah dinamika dan interaksi kehidupan, Tetapi telah ada kecenderungan secara perlahan yang disengaja, bahwa kemiskinan telah menjadi salah satu sector ekonomi. Kemiskinan telah berubah menjadi industri utuh, dimana elemen-elemen industri telah lengkap dalam sebuah industri yang kita sebut dengan kemiskinan.

Dalam industri ini, mekanisme demand dan supply sudah terbentuk dan berlangsung secara sempurna. Ya betul, kemiskinan telah membentuk pasarnya sendiri. Permintaannya dipenuhi oleh orang-orang mampu yang memiliki belas kasihan, sementara orang-orang miskin dan orang mengaku miskin menjadi kekuatan supply yang berusaha keras me-utilisasi rasa belas kasihan orang-orang mampu. Dalam pasar kemiskinan produk kemiskinan semakin bervariatif. Bahkan kemasannya semakin canggih, dari kemasan tradisional seperti pengemis pinggir jalan sampai kemasan rumit seperti makelar anak yatim-piatu, yang menyediakan bagi siapa saja anak-anak yatim-piatu untuk memeriahkan hari ulang tahun dan acara hari-hari besar Islam, agar acara mereka menjadi lebih terlihat shalehnya.

Duh, tulisan saya ini memiliki kesan su’udzan yang sangat kental, wallahu a’lam. Maafkan saya jika ini terbaca kasar. Tetapi saya ingin bilang apa yang saya tulis di atas, karena gemas ketika melihat itu di sekitar lingkungan saya.

Kembali pada kemiskinan, bahwa kemiskinan tidak lagi menjadi sebuah kehinaan yang dihindari oleh semua manusia yang ingin hidupnya terhormat, baik di mata manusia lain maupun di hadapan Tuhan. Kemiskinan telah menjadi jalan keluar bagi mereka untuk mendapatkan income. Logika manusia kemudian menjadi begitu sederhana. Orientasi hidup manusia cenderung tunggal, yaitu orientasi kekayaan materi, tidak peduli caranya baik, buruk atau bahkan bermaksiat dihadapan Tuhan.

Ironisnya, semua manusia seakan menutup mata dengan apa yang saat ini tengah berlangsung. Yang miskin semakin asyik dengan kemiskinannya. Mereka malah semakin sibuk dengan upaya-upaya bagaimana melakukan inovasi-inovasi produk kemiskinan yang semakin canggih. Semakin bagus kemasan kemiskinan, maka akan semakin tinggi rasa iba dan semakin banyak returnnya. Dalam cost-benefit analysis, investasi di sector kemiskinan ini rasio biaya dan pendapatannya sangat menggiurkan. Biaya mengemas kemiskinan cenderung kecil, sementara profitnya bias sangat tinggi.

Sedangkan yang kaya juga semakin asyik dengan kekayaannya. Mereka tidak peduli dengan hal ini, sepanjang keadaan ini tidak mengganggu aktifitas mereka menumpuk keserakahan dan menikmatinya. Mereka cukup nyaman, setelah memberikan seribu perak dari bermiliar-miliar hartanya.

Hasil perenungan di atas inilah yang semakin menguatkan saya untuk menyimpulkan bahwa sentral masalah ekonomi adalah kualitas manusia. Manusia shaleh menjadi solusi yang sangat ampuh untuk menyelesaikan persoalan ekonomi melalui dua golongan manusia dalam masyarakat, yaitu masyarakat miskin dan masyarakat kaya. Bayangkan, begitu indahnya jika diantara kita masyarakat kaya dan masyarakat miskinnya shaleh-shaleh.

1 komentar:

Blog Watcher mengatakan...

NEGERI PENUH DENGAN KETIMPANGAN ; ORANG MISKIN VS ORANG KAYA


Fenomena menarik terjadi dipenhujung tahun ini. Setelah gonjang-ganjing menyoroti masalah penegakan hukum, kini guncangan kembali terjadi, kali ini dalam dunia ekonomi. Yaitu dirilisnya daftar 40 orang terkaya di Indonesia oleh majalah bisnis Fobes.

Dari laporan terbaru majalah tersebut, rata-rata nilai total kekayaan mereka naik dunia kali lipat bila dibandingkan bulan desember tahun 2008. Dari US$ 21 miliar (sekitar Rp. 197,4 triliun) menjadi US$ 42 miliar (sekitar 394,8 triliun) tahun 2009.

Tentunya ini akan menjadi bekal positif bagi pelaku perekonomian untuk menapaki tahun depan.

40 Orang Terkaya Indonesia
1 (1-2). R. Budi & Michael Hartono US$ 7 miliar
2 (5). Martua Sitorus US$ 3 miliar
3 (12). Susilo Wonowidjojo US$ 2,6 miliar
4 (9). Aburizal Bakrie US$ 2,5 miliar
5 (8). Eka Tjipta Widjaja U$S 2,4 miliar
6 (6). Peter Sondakh US$ 2,1 miliar
7 (4). Putera Sampoerna US$ 2 miliar
8 (1). Sukanto Tanoto US$ 1,9 miliar
9 (11). Anthoni Salim US$ 1,4 miliar
10 (20). Soegiharto Sosrodjojo US$ 1,2 miliar
11 (25. Low Tuck Kwong US$ 1,18 miliar
12 (7). Eddy William Katuari US$ 1,1 miliar
13 (13). Chairul Tanjung US$ 999 juta
14 (23). Garibaldi Thohir US$ 930 juta
15 (24). Theodore Rachmat US$ 900 juta
16 (26). Edwin Soeryadjaya US$ 800 juta
17 (14). Trihatma Haliman US$ 750 juta
18 (baru). Ciliandra Fangiono US$ 710 juta
19 (15). Arifin Panigoro US$ 650 juta
20 (10). Murdaya Poo US$ 600 juta
21 (baru). Hashim Djojohadikusumo US$ 500 juta
22 (baru). Kusnan & Rusdi Kirana US$ 480 juta
23 (27). Prajogo Pangestu US$ 475 juta
24 (18). Harjo Sutanto US$ 470 juta
25 (17). Mochtar Riady US$ 440 juta
26 (39). Eka Tjandranegara US$ 430 juta
27 (40). Ciputra US$ 420 juta
28 (22). Hary Tanoesoedibjo US$ 410 juta
29 (baru). Sandiaga Uno US$ 400 juta
30 (baru). Boenjamin Setiawan US$ 395 juta
31 (34). Alim Markus US$ 350 juta
32 (21). Aksa Mahmud US$ 330 juta
33 (31). Sutanto Djuhar US$ 325 juta
34 (32). Kartini Muljadi US$ 320 juta
35 (33). Soegiarto Adikoesoemo US$ 300 juta
36 (35). George & Sjakon G Tahija US$ 290 juta
37 (28). Paulus Tumewu US$ 280 juta
38 (19). Husein Djojonegoro US$260 juta
39 (baru). Bachtiar Karim US$ 250 juta
40 (36). Kris Wiluan US$ 240 juta

Ket: Angka dalam kurung peringkat tahun lalu.

POTRET KETIMPANGAN SOSIAL

Kemakmuran adalah tujuan pembangunan dan kemiskinan adalah kegagalannya. Bila kita liat daftar 40 orang terkaya tersebut, keadilan sosal yang selama ini kita damba-dambakan seakan-akan sudah tercapai. Namun disisi yang lain, kemiskinan merupakan wajah yang tidak dapat disembunyikan.

Bila kita mengukur distribusi kekayaan dengan indeks Gini, akan semakin terlihat jelas jurang perbedaan antara sikaya dengan simiskin.

Data BPS tahun 1998, Indeks Gini berada pada angka 0,32. Tahun 1999, naik menjadi 0,33. Terakhir pada 2005, naik lagi menjadi 0,34. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan maka semakin buruk distribusi pendapatanya. Dengan jelas terlihat jurang perbedaan antara orang miskin dengan orang kaya semakin melebar.

Ironi!!! negeri yang banyak memproduksi Orang-orang kaya, ternyata banyak juga menghasilkan orang-orang miskin.

Kekaaan para Taipan dari tahun ke tahun terus merangkak naik, Jutaan orang-orang miskin dan ribuan pengangguran pun juga makin tinggi.

Akhirnya sulit bagi kita untuk tidak menyebut "kita adalah bangsa yang penuh dengan ketimpangan dan kepincangan."