Senin, 07 Desember 2009

Sebuah Kesadaran


Jikalau malaikat syurga Ridwan tiba-tiba hadir di depan kita, dan bertanya, “menurutmu alasan apa yang melayakkan dirimu pantas menghuni syurga?” Apa jawab kita? Mungkin reaksi pertama kita akan tersipu malu, atau terpesona melihat wujud dan membaui wewangian syurga yang masih melekat pada sosok malaikat Ridwan.

Setelah itu mungkin diingatan kita sekelebat muncul semua perbuatan-perbuatan shaleh yang pernah kita lakukan. Atau setidak-tidaknya perbuatan yang kita anggap shaleh, terlepas ia terbungkus oleh niat riya, terpaksa atau mungkin tidak sengaja. Dan pada saat yang sama seakan-akan terhapus dari sejarah ingatan kita perbuatan dosa, maksiat atau aniaya.

Ketika hilang ketakjuban kita pada sosok malaikat Ridwan, dan setelah selesai kita mengumpulkan memori keshalehan, dengan bangganya kita katakan ini dan itu tentang betapa shalehnya kita.

Saya menuliskan ini, sekedar ingin mengajak kepada semuanya untuk menyelami emosi masa lalu, kini dan nanti, masa-masa yang pasti kita hadapi. Tulisan ini bukan tulisan tentang angan-angan, tetapi tentang kesadaran. Saya mulai dengan imajinasi berjumpa Ridwan, malaikat yang semua orang pasti terpesona dengan tampilannya, dan akan dengan ringan hati menghadapinya.

Bagaimana jika keadaannya kita berjumpa dengan Nabi? Tidak cukup malukah kita jika Beliau tahu semua kelakuan kita? Mengaku-ngaku ummatnya tetapi seringkali malah menghina-hina sunnah Beliau. Jangankan ibadah-ibadah sunnah, ibadah wajib saja kita sulit untuk disiplin.

Ahad kemarin ketika seorang Ustadz memaparkan ayat-ayat tentang kiamat, dan ketika saya tidak konsentrasi dengannya, tangan saya membolak-balik lembar-lembar Qur’an saya mencoba membaca ayat-ayat lain yang menarik hati. Dan berjumpa dengan ayat di bawah:

“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulu menertawakan orang-orang beriman. Dan apabila mereka (orang-orang yang beriman) melintas di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila kembali pada kaumnya, mereka kembali dengan gembira ria. Dan apabila mereka melihat (orang-orang mukmin), mereka mengatakan, ‘sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang sesat’. Padahal (orang-orang yang berdosa itu), mereka tidak diutus sebagai penjaga (orang-orang mukmin). Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman yang menertawakan orang-orang kafir.” (QS. At-Tatfif, 83: 29-34)

Rasanya ayat itu tidak membutuhkan tafsir yang lebih detail untuk menyampaikan maksudnya, karena apa yang tertulis sudah cukup menampar kita-kita manusia akhir zaman, dimana keshalehan yang melekat pada seseorang seringkali kita tidak hargai. Alih-alih keshalehan orang lain menjadi pelajaran dan semangat untuk menjadi shaleh, malah menjadi objek yang pantas untuk dihina-hina. Ada kasus dimana orang-orang bergelimang harta yang merendah-rendahkan seorang pengelola mushalla miskin. Dan banyak kasus lain yang senada dengan itu. Kemuliaan seseorang kini dilihat dari banyak harta, gelar akademis dan kebangsawanan. Tidak heran semua orang melakukan apa saja demi mendapatkan kemuliaan itu.

Saudaraku, berhati-hatilah, jaga kesadaran akhirat, syurga dan neraka kemanapun kita pergi. Fokus, konsentrasi, dan jangan bosan untuk kembali pada Allah. Seorang Sahabat Nabi sampai-sampai selalu membawa kafan di tasnya kemanapun ia pergi, sekedar untuk menjaga kesadarannya pada Allah SWT.

Tidak ada komentar: